Jumat, 03 Juni 2011

Membangun kembali Segitiga Intelektual Melalui Komunitas Kajian Ilmiah

Repost seko FB (4 Mei 2011)

Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu lah Yang Maha Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantara qalam. Dia mengajarkan manusia apa-apa yang tidak diketahuinya.”(QS. Al-‘Alaq: 1-5)

IMM sebagai gerakan akademisi islam tidak bisa terlepas dari kegiatan intelektualitas yang menjadi salah satu ruhnya selain Religiusitas dan Humanitas. Segitiga Intelektualitas mustinya senantiasa dihidupkan dalam diri kader IMM. Pengaktifan kembali ruang-ruang diskusi sebagai aplikasi “Segitiga Intelektual” bisa menjadi titik awal kebangkitan intelektual IMM.

Membaca-Menulis-Diskusi (Segitiga Intelektual) merupakan proses pertukaran wacana yang semakin akan semakin mempercepat kematangan intelektual seorang kader. Beberapa gerakan intelektual yang pernah terbentuk khususnya di Jawa Tengah, antara lain Forum Diskusi “Lingkar Studi Peradaban” dan “Penaschool” yang sempat digagas oleh Kader IMM Surakarta,serta gerakan intelektual “Baret Merah” yang konsisten di jalankan PC IMM Sukoharjo.

Sudah saatnya kita dengungkan kembali "Segitiga Intelektual", sebuah aplikasi dari QS. Al-Alaq 1-5 sebagai gerakan intelektual IMM

Kajian Ilmiah sebagai Alternatif Penghidupan kembali "Segitiga Intelektualitas"

Menjadi aktifis kajian ilmiah merupakan pilihan (jangan menyempitkan makna 'kajian' lho ya...!!. Dalam KBBI yang dimaksud kajian adalah hasil mengkaji, yang mana mengkaji adalah belajar; mempelajari; memeriksa; menyelidiki; memikirkan, menguji, menelaah baik buruknya suatu perkara). Di antara beberapa pertimbangan memilih menjadi seorang aktifis kajian antara lain:

1. Setiap kegiatan yang dilakukan tentu membutuhkan alokasi waktu, tenaga dan pikiran. Menjadi seorang anggota kajian memang membutuhkan ketiga hal tersebut. Apalagi jika sudah masuk ke dalam sebuah sistem kajian yang menuntut banyak hal seperti makalah, ketepatan waktu dan pencarian maklumat. Namun apabila dibandingkan dengan input yang didapat. Mengorbankan tiga hal di atas seolah tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan banyak input yang masuk seperti ilmu dan pengalaman. Seorang aktifis kajian bukanlah seorang pekerja yang hanya diperas tenaganya kemudian mendapat ‘bayaran’ murah atas pengorbanannya. Pengorbanan seorang aktifis kajian adalah sebuah proses yang berat tapi mulia (seperti telaah literatur yang kadang tidak mudah didapat dan dikuasai, pengaturan waktu, juga diskusi yang kadang sampai terjadi perdebatan sengit dan kadang makan hati). Pengorbanan seorang aktifis kajian tidak mengarah kepada tujuan yang semu (kemenangan, kepuasan, atau hal lain yang semu) melainkan kepada sebuah tujuan mulia yaitu bertambahnya ilmu dan menajamkan intelektualitas.

2. Tuntutan membaca menjadi lebih banyak dengan bergabung menjadi aktifis kajian. Hal ini bukan menjadi beban, justru bisa menjadi penyemangat belajar. Terkadang membuka buku itu lebih ringan apabila ada tuntutan dan konsekuensi. Ingin menelaah “Kalender Hijriyah dalam al-Quran”, seorang aktifis kajian tertuntut untuk membuka kembali kitab-kitab tafsir para ulama mulai dari al-Thabari, Ibnu Katsir, al-Razi, sampai Syekh Sya’rawi dan Zaghlul al-Najjar yang ternyata sangat kaya dan tidak menutup mata dengan sains. Juga buku-buku ilmu falak seperti “al-Taqwîm”-nya Muhammad Fayyadh dan “al-Tauqît wa al-Taqwîm”-nya Prof. DR. Ali Hasan. Menurut pembacaan saya wacana yang berkembang di kalangan kader IMM Surakarta khususnya lebih pada pemikiran barat. It's OK, but untuk keseimbangan hendaknya kita tidak hanya membahas tentang pemikiran-pemikiran tokoh barat tapi juga harus diimbangi dengan pemikiran tokoh-tokoh islam.

3. Dalam kajian, seorang aktifis dituntut untuk banyak membaca dan berkarya. Apabila melihat ke berbagai kajian mahasiswa Muhammadiyah yang ada di Mesir, semua terbilang produktif melahirkan buku atau jurnal. Sangat bangga melihat komunitas kader Muhammadiyah yang ada di Mesir ini. Apalagi jika komunitas seperti itu bisa tumbuh di Surakarta ini. Dari Komunitas Diskusi bisa melahirkan Buku atau jurnal. Bukanlah bisa lebih bangga lagi apabila salah satu buku atau jurnal itu merupakan karya kita sendiri? Tentu sangat menyenangkan apabila berhasil menyumbangkan sesuatu untuk peradaban Islam seperti menulis “Orientalisme dan Distorsi Otentisitas Ajaran Islam” yang berisi cara pandang orientalis terhadap ajaran Islam seperti Bernard Lewis dalam penulisan sejarah Islam, Joseph Schacht dan distorsi orisinalitas hukum Islam, juga T.J de Boer dalam otentisitas filsafat Islam, dan lain-lain. Sehingga semua syubhat yang ditujukan kepada Islam tidak pantas dijawab dengan emosi dan anarki, tetapi dengan jawaban yang ilmiah. Karena alangkah tidak bijaksana apabila melawan pemikiran tidak dengan pemikiran pula.

4. Sesuatu yang ilmiah adalah sesuatu yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dalam sebuah kajian ilmiah, seseorang tidak hanya dituntut untuk pandai beretorika. Melainkan juga mempertanggungjawabkan segala yang ia lontarkan.

Mengambil semangat dari para sahabat, tabiin dan generasi penerusnya, para ulama, ketika menyimpulkan sebuah hukum. Mereka sangat mencela orang-orang yang berijtihad murni dengan akal dan perasaan tanpa ada landasan dalil nash. Ketika merujuk kepada sebuah hadis pun tidak serta merta menerima seluruh hadis. Ada syarat rawi dan marwi yang harus dipenuhi. Pertanggungjawaban semacam inilah yang merupakan spirit keilmuan Islam.

5. Diskusi yang berkepanjangan kadang makan hati. Ketika sebuah paper yang kita presentasikan diserang dengan berbagai pertanyaan dan sanggahan dari aktifis kajian lain rasanya seperti dunia ini bertambah sempit. Tapi mengapa kita tidak mencoba menonjolkan sisi fastabiqu’l khairât-nya. Debat itu legal secara syar’i (lihat al-Nahl: 125). Debat dalam kajian bukanlah debat kusir atau debat dengan dasar emosi, gelap mata, tanpa manhaj yang hanya bertujuan melumpuhkan lawan debat. Kajian bertujuan mencari kebenaran dan hakekat dari sesuatu. Segala hal yang ada dalam kajian diarahkan untuk mencari kebenaran, termasuk juga perdebatan yang ada di dalamnya. Menggunakan dasar argumen yang kuat dan dengan etika yang telah diatur, maka ilmulah yang dihasilkan dari sebuah perdebatan di dalam kajian.

Aktifis kajian juga seorang manusia yang kadang merasakan suka atau benci. Kadang terjadi persaingan antar aktifis bahkan persaingan atar kajian. Namun sekali lagi, sisi fastabiqu’l khairât-lah yang selalu menonjol dalam kajian

6. Sebuah perkataan yang mulia menyebutkan bahwa apabila seseorang ingin mencari kebaikan, maka berkumpullah dengan mereka yang membawa kebaikan. Tujuan apa yang ingin didapat dari seorang aktifis kajian selain ilmu? Beberapa waktu penulis bergabung dengan sebuah kajian ilmiah terasa sungguh menyenangkan. Bersama orang-orang yang tulus ingin mencari ilmu dan berkomitmen kuat membuat diri seseorang terpengaruh. Ketika berkumpul dengan sesama aktifis kajian, rasanya tidak ada pembicaraan lain selain ilmu, buku baru, perpustakaan yang belum terjamah, persoalan baru yang terus muncul, dan berbagai hal ilmiah lainnya. Di waktu rehat usai kajian pun, obrolan santainya tidak jauh-jauh amat dari sana. Suasana pembicaraan hal-hal berbau duniawi pun sangat jauh dalam kelompok kajian, sehingga apabila disebut bahwa kajian itu murni keilmuan tidak berdampak apapun terhadap kualitas keimanan menurut subyektifitas penulis itu tidak tepat. Hal baru yang dibahas di kajian memberikan dampak baru bagi akal maupun hati.

Demikian sebuah catatan ringan aktifis kajian. Pilihan jalan hidup memang urusan pribadi masing-masing. Tapi bukankah kita semua selalu dituntut dan ingin untuk memilih yang terbaik?

==============

Tulisan ini terinspirasi dari catatan ringkas seorang kader Muhammadiyah, Aktifis MCIS (Muhammadiyah Center of Islamic Studies) PCI-Muhamamdiyah Kairo-Mesir yg berjudul "Mengapa tidak Mencoba Menjadi Seorang Aktifis Kajian?"

*********** Makasiee Uda Dibaca ***********

1 komentar:

Unknown mengatakan...

izin copas yah min.