Sabtu, 04 Juni 2011

Inflamasi Sebagai Respons Protektif Terhadap Jejas

oleh MH Muflihatul Ulfa

PENDAHULUAN

Bila sel-sel atau jaringan-jaringan tubuh mengalami cedera atau mati, selama pejamu masih masih bertahan hidup, jaringan hidup di sekitarnya membuat suatu respon mencolok yang disebut dengan peradangan atau inflamasi. Yang mebih khusus, peradangan adalah reaksi vascular yang menimbulkan pengiriman cairan, zat-zat yang terlarut dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstisial di daerah cidera atau nekrosis.

Kecenderungan alami adalah yang memandang peradangan sebagai sesuatu yang tidak diinginkan, karena peradangan pada tenggorok, kulit atau jaringan lunak dapat menyebabkan rasa uang tidak nyaman. Akan tetapi, peradangan sebenarnya merupakan fenomena yang menguntungkan dan defesif, yang menghasilkan netralisasi dan eliminasi agen penyerang, penghancuran jaringan nekrotik dan terbentuknya keadaan yang diperlukan untuk pemulihan dan perbaikan. Pada laporan ini akan kami bahas tentang kematian dan adaptasi sel serta inflamasi yang mungkin terjadi.

B.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Adatasi Jejas Sel

1. Jejas sel

Fungsi sel normal memerlukan keseimbangan antara kebutuhan fisiologik serta keterbatasan struktur-struktur sel dan kemampuan metabolic. Hasilnya adalah keadaan yang terus seimbang atau homeostasis. Keadaan fungsional sel akan berubah ketika bereaksi terhadap stress yang ringan untuk mempertahankan keadaan yang seimbang. Perubahan inilah yang disebut dengan adaptasi sel. Peningkatan kemampuan adaptif sel ini menimbulkan jejas sel. (Robbins, 2009)

2. Penyebab Jejas

a. Kekurangan Oksigen (Hipoksia)

Kekurangan oksigen mempengaruhi respirasi aerob dan dengan demikian kemampuan menghasilkan ATP. Penyebab jejas dan kematian sel sangat penting dan sering dijumpai ini terjadi akibat :

· Iskhemia (gangguan pasokan darah)

· Oksigenasi yang tidak adekuat (misalnya kegagalan kardiorespirasi)

· Hilangnya kemampuan darah untuk membawa oksigen (misalnya anemia, karacunan karbon monoksida)

b. Agen Fisik

Agen fisik meliputi trauma, suhu panas, suhu dingin, iradiasi, dan sengatan arus listrik.

c. Agen Kimiawi dan Obat-Obatan

Agen Kimiawi dan Obat-Obatan meliputi preparat terapeutik, racun, polutan lingkungan dan “stimuli social” (alcohol serta narkotika).

d. Agen Infeksius

Agen Infeksius meliputi virus, bakteri, fungi dan parasit.

(Robbins, 2009)

3. Mekanisme Jejas Sel

a. Deplesi ATP

Penurunan sintesis ATP merupakan konsekuensi umum terjadi karena jejas iskhemik maupun toksik.

b. Kerusakan Mitokondria

Kerusakan Mitokondria dapat terjadi langsung karena hipoksia atau toksin atau sebagai akibat meningkatnya ion kalsium sitosol, stress oksidatif atau pemecahan fosfolipid.

c. Influks Kalsium Intrasel dan Gangguan Homeostasis Kalsium

Kalsium sitosol dipertahankan pada kadar yang sangat rendah oleh transportasi yang bergantung pada energy. Iskhemia dan toksin dapat menyebabkan influx ion kalsium melewati membrane plasma dan pelepasan ion kalsium dari mitokondria serta sitoplasma

d. Akumulasi Radikal Bebas yang Berasal dari Oksigen

Begitu terinduksi, molekul oksigen yang tereduksi secara parsial, bersifat sangat reaktif dan tidak stabil ini akan menyebabkan pembentukan radikal bebas tambahan dalam rantai reaksi autokatalik (propagasi) . Radikal bebas merusak lipid (peroksidasi rantai rangkap dengan pemutusan rantai lemak), protein (oksidasi serta fragmentasi) dan asam nukleat (pemutusan benang kromatin tunggal). Radikal bebas ini bersifat tidak labil dan umumnya terurai secara spontan.

(Robbins, 2009)

B. Inflamasi

1. Pengertian

Inflamasi adalah reaksi vascular yang menimbulkan pengiriman cairan, zat-zat yang terlarut, dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstisial di daerah cidera atau nekrosis. (Wilson, 2005)

2. Pola Inflamasi

a. Inflamasi Akut

Inflamasi akut adalah onset yang dini (dalam hitungan detik hingga menit), durasi yang pendek (dalam hitungan menit hingga hari) dengan melibatkan proses eksudasi cairan (edema) dan emigrasi sel polimorfonuklear (neutrofil). (Robbins, 2009)

b. Inflamasi Kronik

Inflamasi kronik adalah onset yang terjadi kemudian (dalam hitungan hari) dan durasi yang lebih lama (dalam hitungan minggu hingga tahun) dengan melibatkan limfosit serta makrofag dan menimbulkan proliferasipembuluh darah serta pebentukan jaringan parut. (Robbins, 2009)

3. Tanda-Tanda Inflamasi

a. Rubor

Biasanya merupakan merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami peradangan. Seiring dengan dimulainya reaksi peradangan, arteriol yang memasok daerah tersebut berdilatasi sehingga memungkinkan lebih banyak darah mengalir ke dalam mikrosirkulasi local. Kapiler-Kapiler yang sebelumya kosong atau mungkin hanya sebagian meregang, secara cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini disebut hyperemia atau kongesti., menyebabkan kemerahan local pada peradangan akut. Tubuh mengontrol produksi hyperemia pada awal reaksi peradangan, baik secara neurologis maupun kamiawi melalui pelepasan zat-zat seperti histamine. (Wilson, 2005)

b. Kalor

Terjadi bersamaan denga kemerahan pada reaksi pradangan akut. Sebenarnya, panas secara khas hanya merupakan reaksi peradangan yang terjadi pada permukaan tubuh, yang secara normal lebih dingin dari 37 derajat 37 celcius yang merupakan shu inti tubuh. Daerah peradangan di kulit menjadi lebih banyak darah dialirkan dari dalam tubuh ke permukaan daerah yang terkena dibandingkan dengan daerah yang normal.(Wilson, 2005)

c. Dolor

Dolor atau nyeri pada suatu reaksi peradangan tampaknya ditimbulkan dalam berbagai cara. . Perubahan Ph local atau kosentrasi local ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf., halaman yang sama , pelepasan zat-zat kimia tertentu seperti histamine taau zat-zat kimia bioaktif lain dapat merangsang saraf. Selain itu pembengkakan jaringan yang meradang menyebabkan peningkatan tekanan local yang tidak dapat diragukan lagi dapat menimbulkan nyeri (Wilson, 2005)

d. Tumor

Aspek mencolok pada peradangan akut mungkin adalah tumor atau pembengkakan local yang dihasilkan oleh cairan dan sel-sel yang berpindah dari aliran darah ke jaringan interstisial. Campuran cairan dan sel-sel ini yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat. Pada awal perjalanan reaksi peradangan, sebagian besar eksudat adalah cairan, seperti yang terlihat secara cepat di dalam lepuhan setelah luka bakar ringan pada kulit. Kemudian, sel-sel darah putih atau lekosit meninggalkan aliran darah dan tertimbun sebagai bagian eksudat. (Wilson, 2005)

e. Functio Laesa

Fungsio laesa atau perubahan fungsi merupakan bagian yang lazim pada reaksi peradangan. Sepintas mudah dimengerti,bagian yang bengkak, nyri disertai sirkulasi abnormal dan lingkungan kimiawi local yang abnormal, seharusnya berfungsi secara abnormal. Akan tetapi, cara bagaimana fungsi jaringan yang meradang itu terganggu tidak dipahami secara terperinci. (Wilson, 2005)

C. Gate Control of Pain

Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri. Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut control desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron A-delta dan C melepaskan substansi P untuk mentransmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu terdapat mekanoreseptor , neuron A-beta yang lebih tebal, yang lebih cepat melepaskan neurotransmitter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut A-beta, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang di sampaikan akan menstimulasi mekanoreseptor , apabila masukan yang dominan berasal dari serabut A-delta dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat korteks yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiate endogen, seperti endorphin dan dinorfin, suatu pembuluh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P, tehnik distraksi, konseling dan pemberian placebo merupakan upaya untuk melepaskan endorphin. (Potter, 2005)


PEMBAHASAN

Bila sel-sel atau jaringan-jaringan tubuh mengalami cedera atau mati, selama pejamu masih masih bertahan hidup, jaringan hidup di sekitarnya membuat suatu respon mencolok yang disebut dengan peradangan atau inflamasi. Yang lebih khusus, peradangan adalah reaksi vascular yang menimbulkan pengiriman cairan, zat-zat yang terlarut dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstisial di daerah cidera atau nekrosis. Pada scenario pertama blok Premedical Science in Pathological Setting ini akan dibahas tentang jejas sel serta inflamasi yang terjadi sebagai respons adanya jejas.

Pada scenario disebutkan bahwa seorang anak berusia 5 tahun, yaitu Tita mengalami nyeri pada lututnya akibat terpeleset dan terantuk batu. Mekanisme yang terjadi berdasarkan diskusi yang dilakukan kelompok kami adalah bahwa ketika Tita sedang bermain dengan teman-temannya, Tita kurang sempurna dapat melakukan mekanisme keseimbangan, baik dengan bantuan sacculusnya, utrikulus maupun canalis semisircularisnya, hingga diapun terpeleset, terjatuh dan lututnya terantuk batu. Pada saat inilah terjadi apa yang kita sebut dengan jejas sel, khususnya pada lutut. Sel-sel di sekitar lutut yang terantuk batu mengalami cidera. Berdasarkan penyebab-penyebab jejas yang telah dibahas pada tinjauan pustaka, untuk kasus Tita ini yang menjadi penyebab utama jejas sel pada lututnya yaitu akibat adanya agen fisik berupa trauma mekanik. Keadaan fungsional sel berubah ketika bereaksi terhadap stress yang ringan untuk mempertahankan keadaan yang seimbang. Salah satu respon yang paling sering muncul sebagai respon tubuh terhadap cidera sel atau jejas sel ini adalah dengan peradangan atau dalam istilah kedokteran disebut dengan inflamasi pada daerah yang mengalami cidera.

Inflamasi ini merupakan respons terhadap jejas pada jaringan hidup di lutut, yang mana jaringan ini memiliki vaskularisasi. Inflamasi ini bertujuan untuk menyekat serta mengisolasi jejas, menghancurkan mikroorganisme yang menginvasi tubuh serta menghilangkan aktifitas toksinnya dan mempersiapkan jaringan bagi kesembuhan dan perbaikan.

Terdapat lima tanda klinis yang klasik pada inflamasi (yang menonjol pada inflamasi akut), antara lain kalor,rubor, tumor, dolor, function laesa. Kelima tanda ini juga terjadi pada Tita yang diduga juga mengalami peradangan atau inflamasi pada lututnya. Disebutkan dalam scenario bahwa sesaat setelah dia terpeleset dan terantuk batu Tita langsung menangis, lantaran lututnya terasa nyeri dan susah dipakai untuk berjalan. Nyeri atau dolor merupakan salah tanda klinis pada inflamasi. Akibat-akibat lain yang ditimbulkan seperti menangis dan susah berjalan merupakan efek lain yang menjadi respons atas adanya rangsang nyeri. Rasa nyeri ini timbul karena adanya rangsangan berupa kerusakan mekanis pada jaringan, sehingga pada kasus Tita ini reseptor nyerinya termasuk dalam kategori nosiseptor mekanis. Impus nyeri yang berasal dari nosiseptor ini disalurkan ke SSP melalui saraf afferent yang diperankan oleh serat A-delta. Serat-serat afferent primer bersinaps dengan antar neuron ordo kedua di tanduk dorsal korda spinalis. Salah satu neurotransmitter yang dikeluarkan oleh ujung-ujung afferent nyeri ini adalah substansi P, yang diperkirakan khas untuk serat nyeri. (Sherwood, 2006)

Jalur nyeri asenden memiliki tujuan di korteks somatosensorik, thalamus dan formation retikularis. Formatio retikularis ini meningkatkan derjat kewaspadaan yang berkaitan dengan rangsangan yang mengganggu. Hubungan-hubungan antara thalamus dan formation retikularis ke hypothalamus dan sistem limbic menghasilkan respons emosi dan perilaku yang menyertai pengalaman yang menimbulkan nyeri sebagaimana yang terjadi pada kasus Tita, bahwa Tita menangis yang berkaitan dengan emosi yang ditimbulkan. Susahnya berjalan selain merupakan tanda klinis inflamasi tepatnya pada function laesa , juga ditengarai terjadi karena spasme pada muskulinya.

Saat menangis, guru Tita datang dan mengusap-usap lutut yang nyeri , tangis Tita mereda dan nyerinya berkurang. Mekanisme yang terjadi yaitu penghambatan nyeri oleh sinyal sensorik taktil simultan. Peristiwa ini terjadi dalam pengaturan rasa nyeri, yang menjelaskan bahwa perangsangan serabut-serabut A-beta besar yang berasal dari reseptor taktil di perifer, dapat menekan pejalaran sinyal dari daerah tubuh yang sama. Hal itu diduga merupakan akibat dari jenis inhibisi lateral setempat didalam medulla spinalis yang dapat menjelaskan mengapa gerakan yng sederhana seringkali efektif untuk mengurangi rasa nyeri. (Guyton, 2009)

Ketika sampai di rumah ternyata lututnya memar dan teraba hangat. Keduanya ini juga merupakan tanda klinis inflamasi yaitu rubor dan kalor. Seiring dengan dimulainya reaksi peradangan, arteriol yang memasok daerah tersebut berdilatasi sehingga memungkinkan lebih banyak darah mengalir ke dalam mikrosirkulasi local. Kapiler-Kapiler yang sebelumya kosong atau mungkin hanya sebagian meregang, secara cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini disebut hyperemia atau kongesti., menyebabkan kemerahan local pada peradangan akut. Tubuh mengontrol produksi hyperemia pada awal reaksi peradangan, baik secara neurologis maupun kamiawi melalui pelepasan zat-zat seperti histamine. Terjadi bersamaan dengan kemerahan pada reaksi infamasi akut. Sebenarnya, panas secara khas hanya merupakan reaksi peradangan yang terjadi pada permukaan tubuh, yang secara normal lebih dingin dari 37 derajat 37 celcius yang merupakan shu inti tubuh. Daerah peradangan di kulit menjadi lebih banyak darah dialirkan dari dalam tubuh ke permukaan daerah yang terkena dibandingkan dengan daerah yang normal. Dengan adanya tanda-tanda klinis yang terjadi pada lutut Tita, maka dapat diambil kesimpulan bahwa lutut Tita mengalami inflamasi.

KESIMPULAN

1. Keadaan fungsional sel dapat berubah ketika bereaksi terhadap stress yang ringan untuk mempertahankan keadaan yang seimbang.

2. Jejas dapat terjadi karena kekurangan oksigen (hipoksia), ischemia, agen fisik, agen kimiawi dan obat-obatan serta agen infeksius.

3. Nyeri dapat terjadi karena adanya rangsangan nyeri yang diterima oleh nosireseptor, kemudian diteruskan ke SSP melalui saraf afferent A-delta, menuju ke korteks somatosensorik, thalamus dan formation retikularis yang menghasilkan respons emosi dan perilaku yang menyertai pengalaman yang menimbukan nyeri.

4. Inflamasi terjadi sebagai respons protektif dengan tanda-tanda klinis antara lain, rubor, tumor, kalor, dolor dan function laesa.

5. Mengelus-elus daerah nyeri memberikan fungsi untuk mengurangi rasa nyeri dengan cara menutup pertahan dengan menstimulasi mekanoreseptor neuron A-beta yang lebih cepat melepaskan neurotransmitter penghambat.

6. Kesulitan berjalan pada lutut Tita yang mengalami jejas jaringan selain disebabkan karena adanya tanda inflamasi function laesa juga disebabkan karena adanya spasme pada muskulinya.


DAFTAR PUSTAKA

Guyton & Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC

Potter. 2005. Gate Control Theory. Suplement. 26:75-83

Price, Sylvia Anderson; Wilson, M. Loraine. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6. Jakarta : EGC

Robbins & Cotran. 2009. Buku Saku Patologis Penyakit Robbins & Cotran, Edisi 7. Jakarta : EGC

Sheerwood L,. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta : EGC.

Tidak ada komentar: