Kamis, 17 November 2011

Ya Rabb..

Robbana dholamnaa anfusana waillam tagfirlanaa watarhamnaa lanakuunanna minal khosirin
"Wahai tuhan kami,kami telah bersalah (menganiyaya diri kami sendiri).Dan sekirannya engkau tidak mengampuni dan memberi rahmat kepada kami,niscaya dan pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi"


Sebab Turunnya ayat ini:
Bacaan do'a ini merupakan ungkapan rasa bersalah Nabi Adam,melanggar larangan Allah.sehingga akibat dari pelanggaran ini,Nabi Adam mendapat hukuman yaitu,dipisahkan dari istrinya Siti Hawa,selama kurang lebih dari 300 tahun lamanya.Selama itu pula Nabi Adam selalu mengadakan pengakuan dosa atas kesalahan yang diperbuatnya.Dan itu terjadi atas ketidakmampuan Nabi Adam menghadapi bujuk rayu iblis yang senantiasa mengajak ke jalan kesesatan/Kedhaliman,sebagaimana hal ini dikisahkan dalam Al-Qur'an S-Al-Baqarah ayat 36 dan S-Al-Araf ayat 22.
Begitu Allah menerima pengakuan

Senin, 31 Oktober 2011

Kisah Perjalanan Cinta yang Mengharukan..


Cerita ini adalah kisah nyata… dimana perjalanan hidup ini ditulis oleh seorang istri dalam sebuah laptopnya.
Bacalah, semoga kisah nyata ini menjadi pelajaran bagi kita semua.
***
Cinta itu butuh kesabaran…
Sampai dimanakah kita harus bersabar menanti cinta kita???
Hari itu.. aku dengannya berkomitmen untuk menjaga cinta kita..
Aku menjadi perempuan yg paling bahagia…..
Pernikahan kami sederhana namun meriah…..
Ia menjadi pria yang sangat romantis pada waktu itu.
Aku bersyukur menikah dengan seorang pria yang shaleh,

Kamis, 13 Oktober 2011

Yakin dan Tawakkal

Ba'da maghrib tadi ada kajian rutin di pesma tercinta, seperti biasa malam jum'at kita mengaji kitab Riyadhushsholihin dibimbing ust Mu'inudinillah. Kali ini yang dibahas adalah bab Yakin dan Tawakkal. Sedikit berbagi aja....dalam kitab yang dikarang oleh Imam Nawawi ini disebutkan definisi dari yakin yaitu percaya dengan sangat seakan kita melihat dg mata kepala sendiri apa yang dijanjikan oleh Allah SWT. Kita yakin dengan adanya surga, neraka maupun yakin dengan janji-janji Allah SWT yang lain.
Yakin
Allah Ta'ala berfirman: "Setelah orang-orang yang beriman itu melihat pasukan serikat - musuh - mereka berkata: "Inilah yang dijanjikan oleh Allah dan RasulNya kepada kita dan Allah dan RasulNya itu berkata benar. Hal yang sedemikian itu tidaklah menambahkan kepada orang-orang yang beriman tadi melainkan keimanan dan keislaman mereka." (al-Ahzab: 22)
Pada suatu perang yang

Selasa, 04 Oktober 2011

Meningioma

2.1. Epidemiologi dan Insidensi
Tumor ini mewakili 20% dari semua neoplasma intrakranial dan 12 % dari semua tumor medulla spinalis. Meningioma biasanya jinak, tetapi bisa kambuh setelah diangkat. Tumor ini lebih sering ditemukan pada wanita dan biasanya muncul pada usia 40-60 tahun, tetapi tidak tertutup kemungkinan muncul pada masa kanak-kanak atau pada usia yang lebih lanjut.Paling banyak meningioma tergolong jinak (benign) dan 10 % malignan. Meningioma malignant dapat terjadi pada wanita dan laki-laki,meningioma benign lebih banyak terjadi pada wanita.2

2.2. Etiologi
Para ahli tidak memastikan apa penyebab tumor meningioma, namun beberapa teori telah diteliti dan sebagian besar menyetujui

Senin, 03 Oktober 2011

Astrocytoma

Otak merupakan organ tubuh paling kompleks dan merupakan struktur pusat pengaturan keseluruhan tubuh. Peranan sentral dan adanya gangguan fungsional yang terjadi akan mencerminkan beratnya akibat yang ditimbulkan oleh tumor otak. Tumor yang melibatkan SSP termasuk neoplasma yang paling merusak, diperkirakan bertanggung jawab sekitar 2,5% dari semua lesi massa, yang menyebabkan sekitar 3,9 – 4,4 kematian per 100.000 populasi per tahun di Amerika Serikat. Kematian akibat tumor otak ini besarnya 2% dari seluruh kematian akibat tumor, dan insiden tumor otak besarnya 7 per 100.000 penduduk per tahun.(1,2,3)
Tumor otak merupakan suatu pertumbuhan jaringan yang

Neurofibromatosis

Neurofibromatosis adalah sekelompok kondisi heterogen. Menurut Institut Kesehatan Nasional (NIH) hanya dua jenis neurofibromatosis didefinisikan: neurofibromatosis tipe 1 (NF1) juga disebut penyakit von Recklinghausen ini, dan neurofibromatosis tipe 2 (NF2) atau bilateral saraf sindrom schwannomas kedelapan. Definisi "perifer" dan "pusat" neurofibromatosis, yang disebut di masa lalu untuk NF1, NF2 dan masing-masing, kini telah ditinggalkan sejak dua kondisi sering memiliki manifestasi pusat dan perifer bersama.

Jenis neurofibromatosis 1 (NF1)

NF1 adalah gangguan autosomal dominan dengan penetrasi yang tinggi namun ekspresivitas variabel.

Gen yang bertanggung jawab adalah di lengan panjang kromosom 17 dan biasanya bertindak sebagai onkogen penekan tumor. Kurangnya kedua salinan gen menginduksi pertumbuhan berbagai neoplasma dan non-neoplastik lesi. Organ target utama keduanya perifer (PNS) dan pusat (SSP) sistem saraf dan kulit, tapi hampir tersebar luas keterlibatan organ sistem multi terjadi. NF1 jauh lebih umum daripada NF2 dan mempengaruhi sekitar 1 dalam setiap 2.000 - 3.000 kelahiran.

Diagnosis didasarkan pada pemeriksaan fisik, neuroimaging dari otak (dan mungkin tulang belakang), celah-lampu pemeriksaan mata dan pengujian genetik.

Pada sebagian besar individu temuan kutaneous yang menonjol dan termasuk kafe-au-lait spot (CAL), biasanya menjadi jelas selama tahun pertama kehidupan, Neurofibroma dangkal, yang mulai muncul pada pubertas, dan aksila atau inguinalis freckling. Nodul Lisch yang mewakili hamartomas iris mulai muncul di masa kanak-kanak dan ditemukan di hampir semua pasien dewasa pada pemeriksaan celah-lampu.

Karakteristik manifestasi SSP, didokumentasikan oleh MR, termasuk neoplasma sejati (semua berasal dari astrosit dan neurons), serta lesi displastik dan hamartomatous / heterotopic. SSP paling umum tumor saraf optik, piring tectal dan batang otak glioma (astrocytoma biasanya pilocytic atau rendah glioma grade). Dalam sepertiga pasien, Neurofibroma mempengaruhi cabang intraorbital dan wajah dari saraf kranial (III - VI) dan / atau menyebar neurofibroma plexiform wajah dan kelopak mata hadir.

Displastik lesi intrakranial muncul sebagai fokus beberapa terang pada gambar T2-tertimbang MR dalam batang otak, materi putih cerebellar, inti dentate, ganglia basal, materi putih periventricular, saraf optik, dan radiasi optik. Mereka sangat mungkin mewakili baik mielinasi yang abnormal atau hamartomas. Tidak seperti neoplasma lesi ini tidak menunjukkan efek massa, edema, peningkatan kontras atau perdarahan pada gambar MR. Basal ganglia T1-tertimbang hyperintensities tampaknya mewakili sel Schwann ektopik. Fitur klasik lain dari NF1 tumor jinak selubung saraf perifer (akar tulang belakang / bodoh-bel Neurofibroma), kyphoscoliosis, meningocele toraks lateral, pembesaran foramen displastik dari tulang belakang, sayap sphenoid displasia yang merupakan salah satu dari "lesi tulang khas" dari penyakit dan menyebabkan exophthalmos berdenyut dalam 5 - 10% pasien, pseudarthrosis, penipisan korteks tulang panjang, macrocephaly, dysplasias pembuluh darah dan tumor endokrin.

Diagnosis NF1 dibuat bila dua atau lebih dari anomali yang tercantum dalam Tabel I yang hadir.

Neurofibromatosis, Tabel 1. Anomali terlihat di NF1.
1. Enam atau lebih kafe-au-lait spot> 5 mm
2. Dua atau lebih Neurofibroma dari jenis apa pun atau satu neurofibroma plexiform
3. Dua atau lebih Lisch nodul (iris hamartomas)
4. Freckling di daerah aksila atau inguinalis
5. Glioma saraf optik
6. Sebuah lesi khas tulang seperti displasia sayap sphenoid
7. Gelar pertama relatif dengan NF1

Neurofibromatosis tipe 2 (NF2)

NF2 adalah gangguan autosomal dominan dengan penetrasi tinggi karena cacat kromosom 22.

Frekuensi adalah sekitar 1 dalam 35.000 kelahiran. Manifestasi klinis berkembang hanya dalam dekade kedua atau ketiga kehidupan. Manifestasi kulit jauh lebih jarang di NF2 daripada di NF1. Lesi SSP yang berkembang pada hampir semua individu yang terkena meliputi: tumor intrakranial sel Schwann dan meninges, kalsifikasi intrakranial nontumoral (pleksus koroid), dan neoplasma akar saraf tulang belakang dan saraf (terutama ependymomas, schwannomas dan meningioma).

Schwannomas akustik bilateral yang hadir di sekitar 95% dari pasien yang terkena dampak dan dianggap sebagai ciri khas penyakit ini. Mereka terlihat di kedua CT dan MR yang mengandung degenerasi kistik dan kalsifikasi. Pada schwannomas MR yang hipo-isointense pada T1-weighted dan hyperintense pada gambar T2-tertimbang dengan kuat, peningkatan homogen setelah pemberian kontras. Semua saraf kranial lainnya (kecuali penciuman dan saraf optik) dapat terlibat dengan schwannomas, paling sering saraf trigeminal.

Ependymomas sumsum tulang belakang, tulang meningioma bertingkat dan schwannomas sepanjang akar saraf keluar yang baik divisualisasikan oleh MR. Akar saraf perifer schwannomas muncul massa juga dikemas, isointense pada T1-weighted dan hyperintense pada gambar T2-tertimbang, dengan peningkatan kontras khas. Kelainan tulang belakang tulang sekunder untuk tumor dilaporkan dalam NF2, scalloping tulang belakang misalnya posterior dan pembesaran foramen saraf. Displasia dural tidak ditemukan, bertentangan dengan NF1. Anomali dilaporkan lainnya adalah: presenile posterior subcapsular / katarak capsular (85%), perifer kekeruhan lensa kortikal dan agenesis dari arteri karotid internal.

Neurofibromatosis, Tabel 2. Anomali terlihat di NF2.
1. Bilateral massa saraf kedelapan pada studi pencitraan
2. Sepihak massa saraf delapan ditambah dua dari berikut:


meningioma, schwannoma dari setiap Neves tengkorak, presenile posterior subcapsular / katarak capsular

Artikel di atas adalah ulang dengan izin dari Medcyclopaedia ™, layanan unik dari GE Healthcare. Medcyclopaedia menyediakan cakupan yang komprehensif lebih dari 18.000 topik medis - interaktif e-learning solusi serta database kaya gambar medis dan klip media. Medcyclopaedia memberikan Anda akses cepat ke solusi & sumber daya yang sedikit situs-situs lain bisa cocok. Copyright 2010 Medcyclopaedia Teks dan Gambar. Semua hak dilindungi.

Minggu, 02 Oktober 2011

Cerebellum ^^

Gerakan tubuh yang tepat dan halus selalu membutuhkan koordinasi dari berbagai organ Suatu gerakan volunter akan melibatkan cerebellum, sistem penglihatan, system motorik, sistem sensorik. Cerebellum melakukan pengaturan kerja otot, sehingga terjadi kontraksi otot yang tepat pada saat yang tepat.

Serebelum adalah bagian terbesar dari otak belakang. Serebelum menempati fosa kranialis posterior dan diatapi tentorium-serebeli, yang merupakan lipatan dura mater yang memisahkannya dart lobus oksipitalis serebri.

Serebelum terdiri dari tiga bagian yang secara fungsional berbeda, yang diperkirakan terbentuk secara berurutan selama. Bagian-bagian ini memiliki sendiri rangkaian masukan dan keluaran dan dengan demikian masing-masing memiliki fungsi yang berbeda.

1. Vestibuloserebelum

Penting untuk mempertahankan keseimbangan dan mengintrol gerakan mata

2. Spinoserebelum

Mengantur tomus otot dan gerakan volunteer yang terampil dan terkoordinasi. Sewaktu daerah-daerah motorik korteks mengirim pesan-pesan2 ke otot-otot untuk melaksanakan gerakan tertentu, spinoserebelum juga diberi informasi mengenai perintah motorik yang diinginkan. Selain itu, daerah menerima masukan dari reseptor-reseptor perifer yang memberitahui mengenai apa yang sebenarnya terjadi berkaitan dengan gerakan dan posisi tubuh. Peran spinoserebelum dalam mengkoordinasikan aktivitas motorik fasik-cepat spinoserebelum membandingkan “maksud” dari pusat-pusat motorik yang leih tinggi dengan “kinerja” otot-otot dan mengoreksi setiap “kesalahan” dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan untuk melaksanakan gerakan yang didinginkan.

3. Serebroserebelum

Berperan dalam perencanaan atau inisiasi aktivitas volunteer dengan memberikan masukan ke daerah-daerah motorik korteks. Bagian ini juga merupakan daerah serebelum yang terlibat dalam ingatan procedural.

Cerebellum danggap sebagai Head Ganglion dari system proprioseptif, karenanya dia berfungsi :

  1. Mengatur tonus otot skelet
  2. Mengontrol aktivitas otot sadar
  3. Mengatur postur dan keseimbangan tubuh

Secara filogenetik, serebelum dibagi atas 3 bagian besar :

Archiserebelum (lobus flokulonodular) secara filogenetis merupakan bagian tertua

Paleoserebelum (Spinocerebelum)

Neocerebelum (Lobus posterior)

LESI CEREBELLUM

A. Lesi di neocerebellum dapat memberikan gejala-gejala sebagai berikut :

  1. Hipotonia : otot kehilangan kemampuan untuk melawan jika otot dimanipulasi secara pasif. Pasien akan berjalan sempoyongan. Disebabkan oleh karena hilangnya pengaruh fasilitas cerebellum terhadap stretch reflex.

2. Disequilibrium :kehilangan keseimbangan oleh karena tak ada kordinasi kontraksi otot skelet.

3. Dissynergia :kehilangan koordinasi kontraksi otot, meliputi :

- Disarthria : bicara cadel

- Distaxia : tak bisa mengkoordinasikan kontraksi otot skelet

- Dismetria : salah menafsir jarak, disebabkan karena kontraksi otot tidak di rem oleh otot-otot antagonis. Tak mampu menghentikan gerakan pada titik yang diinginkan.

- Disdiadokokinesis : tak mampu mengubah gerakan dengan cepat, disebabkan karena adanya kontraksi dan relaksasi yang lambat atau berlebihan.(ex: dari fleksi ke extensi)

- Intentio Tremor : tremor di tangan bila hendak melakukan sesuatu gerakan bertujuan. Tremor ini terjadi karena ada gangguan dalam koordinasi gerakan, penderita sadar dan berusaha untuk mengoreksinya. Tremor ini lebih tepat disebut sebagai tremor ataksik.

- Titubasi : tremor yang ritmis pada kepala dengan kecepatan 3-4 kali per menit dapat menyertai lesi cerebellum bagian tengah.

- Nystagmus : bola mata distaxia kiri dan kanan, karena suatu iritasi vestibuler fiber atau oleh karena penekanan nucleus vestibuler.

- Gangguan pada mata : bisa berupa skew deviation dimana terjadi deviasi ke atas dan keluar dari bola mata pada sisi yang berlawanan dengan lesi dan deviasi ke bawah dan ke dalam dari bola mata pada sisi lesi.

- Gerakan Rebound : ketidakmampuan mengontrol gerakan. Contoh: kalau lengan bawah difleksikan dengan pasif, kalau dilepas lengan tersebut akan memukul dada.

4. Sindroma Hemisphaerum cerebellaris : rusak satu hemisphaerum cerebella

Gejala : Distaxia dan hipotonia anggota badan ipsilateral

Etiologi : Neoplasma dan infark

5. Sindroma vermis rostralis : rusak lobus anterior

Gejala : Distaxia kaki dan truncus

Etiologi : Keracunan alkohol, terjadinya degenerasi bagian anterior vermis

6. Sindroma vermis caudalis : rusak lobus posterior dan flocculonodularis

Gejala : Distaxia truncus sehingga tak mampu berdiri tegak dan nystagmus

Etiologi : Tumor

7. Sindroma pancerebellaris : rusak pada kedua hemisphaerum cerebellaris

Gejala : Bilateral distaxia, Disarthria, Nystagmus, Hipotonia

Etiologi : Degenerasi, Multiple sclerosis, Keracunan alkohol

B. Lesi di paleocerebellum dapat memberikan gejala-gejala gangguan sikap tubuh dan tonus otot.

C. Lesi di archicerebellum dapat memberikan gejala-gejala berupa ataksia trunkal, yaitu dimana penderita bila disuruh duduk tampak badannya bergoyang. Disamping itu dapat juga memberikan gejala berupa vertigo dimana penderita merasa sekitarnya atau badannya bergoyang.

CARA PEMERIKSAAN

Tes telunjuk-hidung : Penderita diminta untuk menyentuh ujung jari pemeriksa pada jarak 20-30 cm di depannya keujung hidung penderita.

2. Tes tumit-lutut : Tumit tungkai kiri ditaruh di lutut tungkai kanan lalu tumit menelusuri tibia ke pergelangan kaki (sebaliknya).

3. Tes Disdiadokinesis : lengan penderita disuruh pronasi dan supinasi dengan cepat atau ibu jari disuruh menyentuh jari-jari lain secara berurutan dan bolak-balik

4. Tes fungsi :kancingkan baju, ambil beberapa uang logam di meja, menulis

Sumber :

http://dc364.4shared.com/doc/_F7Px9Vm/preview.html

http://ifan050285.wordpress.com/2010/02/12/cerebellum/

http://www.indonesianrehabequipment.com/2011/07/anatomi-dan-fungsi-serebelum.html

Sheerwood, L., 2001. Fisiologi Manusia dari Se ke Sistem Edisi 2. Jakarta : EGC

Jumat, 23 September 2011

Mentadabburi Ayat'NYA

bismillahirrahmanirrahimm
..sudah lama tidak mengisi blog ini. Sebenarnya banyak sekali yang mau dituliskan, tapi mungkin tidak terlalu layak untuk di publish, jadi hanya mengendap di draft saja...hehe. Okelah...sekarang waktunya berbagi, tentunya sesuatu yang pantas untuk dibagi....ck.ck..

Mentadabburi ayatNYA...
Seperti kita tahu bahwa Allah SWT memiliki 2 ayat yang menjadi rujukan segala macam ilmu pengetahuan. Yaitu ada ayat kauniyah dan ayat qouliyah.... sejatinya semua ilmu yang ada di muka bumi ini bersumber pada kedua hal tadi. Ayat kauniyah adalah alam semesta, dan qauliyah adalah Al-qur'an yang merupakan wahyu Allah SWT. Kalau menurut Mbah Kuntowijoyo, ada satu lagi macam ilmu, yaitu ilmu nafsiyah yang berasal dari diri manusia itu sendiri (coba baca QS Fushilat 53).

Apa saja yang kita pelajari di bangku kuliah maupun di sekolah dulu merupakan terjemahan dari apa yang ada di dalam Al-Qur'an. Banyak sekali bukti-bukti sains saat kita benar-benar bisa mengambilnya ataupun mentadabburi ayatNYA... bisa dengan memperhatikan alam sekitar kemudian kita cocokkan dengan apa yang ada di Al-Qur'an atau kita belajar dari Al-Qur'an yang kemudian kita melihat pada realita.

Mentadabburi ayat Qouliyah (Al-Qur'an)

Dalam QS Al-Furqon ayat 30 disebutkan bahwa :

Berkatalah Rasul: “Ya Rabb-ku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Qur’an ini suatu yang tidak diacuhkan”

Kekecewaan Rasulullah telah diabadikan dalam ayat tersebut diatas. Dan memang ketika kita melihat kenyataan yang ada sekarang banyak ummat islam yang acuh tak acuh dalam memanfaatkan Al-Qur'an sebagaimana terjadi pada ahlul kitab. Seperti juga kebanyakan ahlul kitab, ummat islam hanya memahami Al-Qur'an tak lebih dari memahami dongengan belaka. (baca QS Al-Baqoroh 78 ya...)

Ada 2 macam pola dalam beriinteraksi dengan alQur'an, yaitu interaksi dengan cara sesuka kita dan interaksi dengan cara yang disukai Al-Qur'an. Untuk pola yang pertama jelas salah, untuk pola uang kedua ini yang dianjurkan. Kita berinteraksi dengan cara yang disukai Al-Qur'an. Tidak hanya sekedar sebatas penghormatan yang bersifat simbolis saja, tapi lebih dari itu.

Al-Qur’an adalah Hudalinnas (petunjuk bagi manusia) sebagai wujud kasih sayang Allah supaya manusia tidak tersesat. Petunjuk al-Qur’an itu tidak akan berfungsi kalau kita tidak bisa memfungsikan, artinya al-Qur’an tidak akan mendapatkan petunjuk itu dengan sendirinya tanpa berusaha menggalinya dan mendialogkan pada problematika kehidupan

Jika al-Qur’an dibaca atau dihafal saja tanpa tahu maksud dan berusaha memahaminya dengan membacakan dengan realitas yang ada, maka al-Qur’an tidak berpengaruh pada kehidupan. Oleh karena itu dengan anugrah akal yang dimiliki oleh manusia, harus digunakan secara tepat dan benar dan semaksimal mungkin dalam memahami pesan langit atau kalamullah yaitu al-Qur’an. Sehingga al-Qur’an mampu menjadi syifa’ (obat) atau pemberi jawaban yang menjadi solusi problem ummat.

Oleh karena itu, mari kita mentadabburi Al-Qur'an. Tadabbur artinya memandang kepada akibat sesuatu dan memikirkannya. Mentadabburi perkataan maksudnya memperhatikannya dari permulaan hingga akhir, kemudian mengulangi perhatian itu berkali-kali.

Oleh karenanya, ada yang mengatakan, bahwa kata tadabbur itu berasal dari pengertian memandang kepada bagian-bagian akhir berbagai urusan serta akibat-akibatnya, atau dengan kata lain memandang sesuatu dibalik sesuatu dan memahami akibat yang akan ditimbulkannya. Contohnya memperhatikan perkataan, sebagaimana firman Allah Ta’ala, ”Maka apakah mereka tidak memperhatikan perkataan (Kami)....” (Al-Mu’minûn: 68)

Menurut Ibnul Qayyim, makna dari tadabbur yakni “Menajamkan mata hati terhadap makna-makna al-Qur’an, dan memusatkan pikiran untuk merenungi dan mempelajarinya.”

Sedang menurut Ulama lain, tadabbur yaitu “Berpikir mendalam dan menyeluruh sampai kepada kandungan makna yang paling dalam dan tujuan-tujuannya yang terjauh.”

Perumpamaan tadabbur Al-Qur'an yaitu ibarat orang mencari mutiara di dasar samudera, ia harus menyelam dan membongkah batu-batu karang di dasar kedalaman samudera itu, begitulah orang bertadabbur, bersungguh-sungguh, membaca, mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkan al-Qurán.

Hasan al-Bashri mengatakan, “Demi Allah, tadabbur Al-Qur’an bukan dengan menghafal huruf-hurufnya namun mengabaikan batasan-batasan-hukum-nya, sehingga ada yang mengatakan, ‘Aku telah membaca semua Al-Qur’an’, namun Al-Qur’an tidak terlihat pada akhlak dan amalnya.” (Tafsîr Ibnu Katsîr, jld. VII, hlm. 64, cet. Thayyibah).

Kenapa harus mentadabburi Al-Qur'an??

Karena tadabur adalah pola interaksi yang diinginkan dan disukai al-Qurán dari siapa saja yang ingin dapatkan mutiara-mutiaranya. Interaksi dengan cara yang disukai oleh Al-Qur'an telah disebutkan dalam QS. Shaad [38] : 29.

“Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran”.

Ada 2 tujuan utama tadabbur al-Qurán :

  1. Agar dapat merasakan secara langsung hakekat kebenaran bukti bahwa al-Qurán adalah firman Allah dan mukjizat terbesar nabi Muhammad saw.
  2. Dengan Tadabbur akan terbuka kunci-kunci qalbu yang selama ini tertutup, karena Qalbu adalah alat paling utama untuk dapatkan pesan-pesan al-Qurán.

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”

(an-Nisâ’ [4]: 82)

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?”.

(QS. Muhammad [47]:24.)

Dan ketika kita memperhatikan alam sekitar serta mentadabburi ayat-ayatNYA....

..........bukan hanya apa yang terindera semata, tetapi kebenaran empiris adalah apa yang disampaikan Allah SWT dan RasulNYA, walau kadang tak terindera.

QS. Shaad [38]

Senin, 01 Agustus 2011


Kita merancang, ALLAH juga merancang,
Tetapi rancanganNYA adalah yang terbaik, yang jauh lebih indah.

Kita sebagai hamba hendaklah ridha, atas segala ketentuanNYA.
karna DIA Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk kita........

Sabtu, 30 Juli 2011

10 Hadits Dha'if Seputar Bulan Ramadhan

Sekedar share ilmu....

--------------------------------

Ramadan adalah bulan Allah yang begitu mulia. Betapa banyak hadis-hadis yang menerangkan tentang keutamaan bulan ini. Diantaranya disebutkan bahwa Ramadan menghapus dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya dan menyediakan kesempatan yang lebih banyak untuk menambah pahala dengan memperbanyak ibadah. Berangkat dari semangat ibadah itulah kemudian banyak orang yang ‘terpeleset’ ke dalam ibadah-ibadah yang tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah di bulan ini. Ada banyak hadis-hadis dhaif, bahkan palsu (maudhu’) yang berserakan seputar bulan Ramadhan. Abdullah al-Himadi, seorang sarjana hadis dari Emirat Arab, menghimpun ratusan hadis dha’if dalam kitabnya Tahdziru al-Khillan min Riwayati al-Ahadits al-Dha’ifah haula Ramadhan. Menurut penelitian ini, terdapat lebih dari seratus hadis dha’if dan maudhu’ (palsu) seputar bulan Ramadan. Ini menunjukkan bahwa Ramadhan merupakan ‘surga empuk’ bagi beredarnya hadis-hadis palsu.

Dalam ilmu Mustalahul Hadis disebutkan bahwa di antara sebab munculnya hadis-hadis dha’if adalah semangat ibadah yang terlalu tinggi, namun tidak diiringi oleh sikap ke-hati-hati-an dalam melihat dalil-dalil agama. Subhi Salih (Ulumul Hadits wa Mustalahuh, 2009: 249) menyatakan bahwa banyak orang yang zuhud dan sufi di zaman dulu tak dapat menahan nafsu untuk memalsukan hadis untuk kepentingan mendorong orang berbuat baik. Di zaman sekarang kita sering kali pula menyaksikan para dai dan mubaligh, yang karena keterbatasan pengetahuan tentang kualitas dalil-dalil agama, juga terlibat dalam mempropagandakan hadis-hadis dha’if dan palsu tersebut. Padahal dalam Islam, semangat tinggi dan niat baik saja tidak cukup untuk beribadah, namun juga harus sesuai dengan tuntunan otentik yang dicontohkan Rasulullah Saw. (QS. 3: 31).

Definisi Hadis Sahih

Ibnu Salah (w. 643 H/1245), salah seorang ulama hadis abad pertengahan yang memiliki banyak pengaruh di kalangan ulama hadis sezaman dan sesudahnya, telah memberikan definisi atau pengertian hadis sahih sebagai berikut:

الْحَدِيْثُ الْمُسْنَدُ الذِي اِتَّصَلَ إِسْنَادُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَابِطِ عَنِ الْعَدْلِ الضَابِطِ إِلَي مُنْتَهَاُه وَ لَا يَكُوْنُ شَاذًا وَلَا مُعَلَّّلاً

“Hadis yang bersambung sanad-nya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh (periwayat) yang adil dan dhabit sampai akhir sanad, tidak terdapat di dalamnya kejanggalan dan cacat” (Muqaddimah Ibnu Shalah, vol. I, hal. 1).

Terdapat lima unsur dalam kriteria hadis sahih. Pertama, sanad bersambung. Yang dimaksud dengan sanad bersambung ialah tiap-tiap periwayat dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya, sampai akhir sanad dari hadis itu. Kedua, periwayat bersifat adil. Diantara unsur adil di sini adalah dapat dipercaya, tidak berbuat fasik, memelihara kehormatan dan tidak berbuar dosa besar. Ketiga, periwayat bersifat dhabit, yaitu orang yang kuat hafalannya tentang apa yang didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya itu kapan saja ia menghendakinya. Keempat, terhindar dari syaz, yaitu periwayatnya tidak terpecaya (tsiqat) atau matan dan sanad-nya bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang yang sama-sama terpercaya. Terhindar dari illat, yaitu sebab yang tersembunyi yang merusakkan kualitas hadis.

Pengertian hadis sahih yang telah disepakati oleh mayoritas ulama hadis di atas telah mencakup sanad dan matan hadis. Kriteria yang menyatakan bahwa rangkaian periwayat dalam sanad harus bersambung dan seluruh periwayatnya harus adil dan dhabit adalah kriteria untuk kesahihan sanad, sedang keterhindaran dari jangggal dan cacat, selain merupakan kriteria untuk sanad, juga berlaku untuk matan hadis (Nuruddin ‘Itr, Manhaju al-Naqdi fi Ulumil Hadis, 242-3). Karenanya, ulama hadis pada umumnya menyatakan bahwa hadis yang sanad-nya sahih belum tentu matan-nya juga sahih.

Dengan mengacu pada unsur-unsur kaidah kesahihan hadis tersebut, maka ulama menilai bahwa hadis yang memenuhi semua unsur itu dinyatakan sebagai hadis sahih, yakni sahih sanad dan sahih matan-nya. Apabila sebagian unsur tidak terpenuhi, maka hadis yang bersangkutan bukanlah hadis sahih, alias hadis dha’if.

Hukum Mengamalkan Hadis Dha’if

Para ulama sepakat untuk menolak pengamalan hadis dhaif, terutama yang berkaitan dengan informasi tentang halal dan haram. Para ahli hadis bersikap tasyaddud (ketat dan keras) dalam hal tersebut, sehingga mereka hanya menerima hadis yang paling tinggi derajatnya, atau yang disebut ‘sahih’. Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa bahkan dalam masalah istihbab (perbuatan yang dianggap sunnah) pun hadis dha’if tertolak. Dalam Majmu’atul Fatawa (vol. I, hal. 251), ia menyatakan:

وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ مِنَ الْأَئِمَّةِ إِنَّهُ يَجُوْزُ أَنْ يَجْعَلَ الشَىْءَ وَاجِبًا أَوْ مُسْتَحَبًّا بِحَدِيْثٍ ضَعِيْفٍ وَمَنْ قَالَ هَذَا فَقَدْ خَالَفَ اْلإِجْمَاعَ

“Tidak seorang imampun yang membolehkan menjadikan suatu perbuatan wajib ataupun sunnah dengan semata-mata hadis dha’if. Barang siapa yang mengatakan hal itu, maka sungguh ia telah menyalahi ijmak ulama”.

Hal itu ditambah lagi bahwa dalam agama Islam terdapat sebuah kaedah mengenai pelaksanaan ibadah, yakni ia harus berdasarkan nash yang otentik, baik dari al-Quran maupun al-Sunnah. Rumusan kaedah tersebut berbunyi:

الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ التَّحْرِيْمُ وَ الَتْوقِيْفُ

“Pada dasarnya hukum ibadah adalah haram dan menunggu perintah”

Namun dalam masalah keutamaan-keutamaan (fadhailu al-a’mal), terjadi perdebatan di kalangan para ulama. Sebagian ulama menolak secara mutlak hadis-hadis dhaif yang terkait dengan keutamaan-keutamaan satu perbuatan. Pendapat ini dipegang oleh Bukhari, Muslim, Ibnu Hazm, Ibnul Arabi dan Ibnu Hibban (al-Hamadi, 2002: 37). Sebagian menerimanya tanpa syarat apapun. Sebagian lagi menerima hadis dhaif dengan tiga syarat, yaitu: pertama, hadis yang diriwayatkan itu tidak terlalu daif, kedua, isinya termasuk ke dalam prinsip umum yang telah ditetapkan oleh al-Quran dan Hadis sahih lain, dan ketiga, tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat (Subhi Salih, 2009: 197). Ada pula yang menambahkan syarat keempat dan kelima, yaitu tidak menisbahkan hadis tersebut kepada Rasulullah saat mengamalkannya dan tidak mengandung informasi yang bertentangan dengan realitas empirik (Yusuf Qardlawi, Fatawa Mu'ashirah).

Hadis Dha’if Seputar Ramadan

1. Do’a Memasuki Bulan Ramadan

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ رَجَبَ قَالَ : اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَارِكْ لَنَا فِي رَمَضَانَ

Artinya; “Dari Anas bin Malik, ia berkata, adalah Nabi Saw. apabila memasuki bulan Rajab, beliau berdo’a, Ya Allah, karunialah kami keberkahan di bulan Rajab dan Sya’ban, dan karunialah kami keberkahan di bulan Ramadan”.

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad (vol. V, no. 2387), Ibnu Abi Dunya dalam Fadhlu Ramadhan, Imam Baihaqi dalam kitab Sya’bu al-Iman (vol. VIII, no. 3654), Abu Nu’aim dalam al-Hulliyah (vol. VI, no. 269), al-Bazzar dalam kitab Musnad (no 402) dan al-Tabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath (vol. IX, no. 4086). Dalam hadis ini terdapat dua tokoh yang lemah, yaitu Zaidah bin Abi Raqqad dan Ziyad bin Abdillah al-Numairi al-Bashri. Menurut Bukhari dan Nasai (al-Dhu’afa wa al-Matrukin, vol. I, hal. 180) mereka adalah orang yang munkar al-hadist. Selain itu, hadis ini telah di-dhaif-kan oleh kritikus hadis terkemuka, di antaranya adalah al-Nawawi dalam kitab al-Adzkar (vol. I, no. 541), al-Dzahabi dalam Mizanu al-I’tidal (vol. II, hal. 65), Ibnu Hajar dalam Tahdzibu al-Tahdzib (vol. III, hal. 263), Ahmad Syakir dan Syu’aib Arnauth ketika men-tahqiq kitab Musnad imam Ahmad serta Nashiruddin Albani dalam Misykatul Mashabih (vol. I, hal. 306).

Do’a di atas sesungguhnya merupakan sesuatu yang sangat baik dan positif, karena seperti dinyatakan Ibnu Rajab al-Hanbali (al-Manawi, Faidhul Qadir, vol. V, hal. 167) ia melambangkan harapan seorang mukmin agar bisa mendapatkan kesempatan menambah amal salihnya. Di luar ibadah mahdlah, seorang muslim memang diperkenankan untuk mengucapkan do’a-do’a yang baik, bahkan dengan selain bahasa arab sekalipun. Inilah alasan mengapa para ahli hadis masih bersedia ‘meloloskannya’ dalam kitab hadis masing-masng. Imam Ahmad pernah mengatakan: “idza jaa al-halal wa al-haram syaddadna fi al-asanid, wa idza jaa al-targhib wa al-tarhib tasahhalna fi al-asanid” (jika terdapat satu hadis mengenai halal dan haram, kami perketat penyeleksian sanad, dan jika terdapat satu hadis tentang tentang dorongan berbuat baik dan ancaman berbuat maksiat, kami mudahkan penyeleksian sanad) (dikutip dari Majmuatu al-Fatawa Ibnu Taimiyyah, vol. XIIX, hal. 65). Sehingga do’a di atas pada dasarnya tidak masalah jika ingin diucapkan, dengan syarat tidak meyakininya sebagai sebuah hadis yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.

2. Keutamaan Bulan Ramadan

أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرَهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ

Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab Sahih-nya (vol. III, no. 1887) dan al-Baihaqi dalam Sya’bul Iman (vol. III, no. 3068). Hadis ini tercantum pula dalam kitab Fadlailu Ramadan karya Ibnu Abi Dunya, al-Dlu’afa karya al-‘Uqaili dan al-Kamil karya Ibnu Adi. Mengenai statusnya, di dalam rantaian periwayatnya terdapat Sallam bin Sawar yang dinilai oleh para kritikus hadis sebagai orang yang dhaif (Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, hal. 441)) dan Maslamah bin al-Shalt, seorang perawi yang tidak dikenal (laysa bil ma’ruf) dan hadisnya tidak dipakai (matrukul hadis). Menurut ahli hadis kontemporer, Nashiruddin Albani, hadis ini adalah hadis munkar (al-Silsilah al-Dlaifah, vol. IV, no. 1569). Hadis munkar adalah hadis di mana sanad-nya terdapat rawi yang pernah melakukan kesalahan yang parah, pelupa, atau ia seorang yang jelas melakukan maksiat (fasiq).

Ke-dhaif-an hadis ini bisa pula ditinjau dari segi matan, karena telah membagi dan membatasi rahmat, maghfirah dan pembebasan neraka dari Allah pada waktu-waktu tertentu. Padahal tiga hal tersebut ada selama berlangsungnya Ramadhan. Konsekwensi dari ke-dhaif-annya, hadis ini tidak bisa dipakai, karena telah menyempitkan apa yang dibuat luas oleh Allah. Para dai dan mubaligh sebaiknya tidak menyampaikannya, bahkan sebisa mungkin memperingatkan jamaah akan status dhaif dari hadis ini, baik secara matan ataupun sanad.

Sebagai alternatifnya, bisa disampaikan hadis-hadis lain yang menerangkan keutamaan bulan Ramadan. Misalnya hadis:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لَمَّا حَضَرَ رَمَضَانُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ (رواه أحمد و البيهقي)

“Dari Abu Hurairah ia berkata, tatkala Ramadan tiba, Rasulullah Saw. bersabda: telah datang kepadamu bulan Ramadan, bulan yang penuh berkah. Allah mewajibkan atas kamu sekalian berpuasa di dalamnya. Selama bulan ini, pintu surga di buka, pintu neraka ditutup dan syaitan-syaitan dibelenggu. Di dalamnya terdapat malam Lailatul Qadr yang lebih baik dari pada seribu bulan. Barang siapa yang tidak mendapatkan kebaikan pada malam ini,maka ia tidak mendapatkan kebaikan Lailatul Qadr.

3. Do’a Berbuka Puasa

عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَ عَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

“Dari Mu’adz bin Zahrah, bahwasanya telah sampai kepadanya bahwa nabi Muhammad Saw. apabila berbuka, beliau berdoa: “Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu”.

Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya (vol. VII/no. 2360), al-Baihaqi dalam al-Sunan (vol. II, no. 8392) dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf (vol. II, no. 9744). Di dalam hadis ini terdapat sosok Mu’adz bin Zahrah yang dipermasalahkan para kritikus hadis. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani (Tahdzibul Kamal, vol. XXIIX, hal. 122, Tahdzibut Tahdzib, vol. X, hal. 172) tabiin satu ini sering meriwayatkan hadis secara mursal (tidak menyebutkan perawi dari tingkatan sahabat). Al-Nawawi dalam al-Adzkar (hal. 190), kitab yang menghimpun do’a-do’a, juga mengakui hadis ini memiliki status mursal. Selain itu, Ibnu Qayyim dalam Zadul Ma’ad (vol. II, hal. 48) menilai hadis ini la yutsbat (tidak pasti berasal dari nabi), al-Syaukani dalam Naylul Authar menilainya matruk (tidak digunakan). Menurut Albani dalam Irwaul Ghalil (vol. IV, hal. 38), hadis ini berstatus dhaif.

Sekalipun jalurnya banyak, hadis ini tidak bisa terangkat menjadi hasan seperti yang dinyatakan dalam adagium ‘ya’dhadhu ba’dhahu ba’dhan’ (menguatkan satu sama lain), karena status dhaif-nya yang tingkat tinggi. Maka, dalam hal ini berlaku kaedah, katsaratu al-turuq la tadullu ‘ala sihhati al-hadist tamaman (banyaknya jalur periwayatan tidak menunjukkan kesahihan hadis secara otomatis). Sebagai alternatif do’a yang bisa dipanjatkan saat berbuka adalah doa berikut:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ : ذَهَبَ الظَّمأُ ، وابْتَلَّتِ العُرُوقُ ، وثَبَتَ الأجرُ إِن شاءَ اللهُ

Dari Abdullah bin Umar bin Khattab Ra. ia berkata, adalah Rasulullah Saw. apabila berbuka, beliau berdo’a: “dzahab al-zhamau wa ibtalati al-uruqu wa tsabata al-ajru insya Allah” (telah hilanglah rasa dahaga, dan telah basahlah tenggorokan, dan tetaplah pahala, insya Allah). (HR. Abu Dawud, Nasai, Bazar, Dlaruqutni, Hakim dan Baihaqi)

  1. 4. Berbuka dengan Kurma

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى تَمْرٍ ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَى مَاءٍ فَإِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ

“Jika salah seorang di antara kamu sekalian berbuka, hendaklah ia berbuka dengan kurma, jika ia tidak menemukannya, maka dengan air, karena sesungguhnya air itu suci”.

Hadis tentang berbuka puasa dengan kurma dengan redaksi yang melaporkan sabda nabi (sunnah qauliiyah) seperti ini menurut tiga orang kritikus hadis kontemporer, Muqbil bin Hadi, al-Hilali dan al-Albani (Shahih wa Dha’if Sunan Tirmidzi, vol. II, 158, Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah, vol. IV, hal. 199) adalah hadis dhaif. Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad (no. 16655), Tirmidzi (no. 660), Ibnu Majah (no. 1699), al-Darimi (no. 1754) dalam Sunan mereka masing-masing, Ibnu Hiban dalam al-Sahih (no. 3584), Tabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir (no. 6196) dan Baihaqi dalam Sya’bul Iman (no. 3742) dan al-Nasai dalam al-Sunan al-Kubra (no. 3326).

Sekalipun hadis ini diriwayatkan oleh banyak penulis hadis (mukharrij), namun hanya memiliki jalur tunggal, yaitu dari Hafshah binti Shirrin dari Rabab dari Salman bin Amir. Menurut al-Dzahabi dalam Mizanul I’tidal (vol. IV. Hal. 606) wanita bernama Rabab dalam hadis ini adalah tokoh yang tidak diketahui (la tu’raf). Hadis ini tidak memiliki satu pun syahid (penguat dari hadis lain), kecuali satu hadis dari jalur sahabat Anas bin Malik yang ternyata di dalamnya juga terdapat illat (kecacatan), karena terdapat seorang perawi yang bernama Said bin Amir yang dinilai sering melakukan kesalahan (yukhti katsiran) (Albani, Irwaul Ghalil, vol. IV, hal. 50).

Sebagai alternatif dari ke-dha’if-an hadis qauli mengenai berbuka dengan kurma di atas, terdapat satu hadis fi’liy (sunnah fi’liyah), yang diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik. Hadis tersebut berbunyi :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ عَلَى رُطَبَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَتُمَيْرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تُمَيْرَاتٌ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

Artinya: “Dari Anas bin Malik ia berkata, adalah “Rasulullah Sawbiasa berbuka dengan beberapa biji ruthab (kurma masak yang belum jadi tamr) sebelum shalat Maghrib; jika tidak ada beberapa biji ruthab, maka cukup beberap biji tamr (kurma kering); jika itu tidak ada juga, maka beliau minum beberapa teguk air.” (HR Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud, Hakim dan Baihaqi)

Perbedaan redaksi dalam hadis, antara perintah (fi’lul amri) dan laporan sahabat mengenai perbuatan nabi, membawa implikasi sendiri dalam penetapan hukum. Dalam usul fikih diterangkan bahwa hadis yang datang dalam bentuk fi’lu al-amri bisa bermakna sunnah (yufidu al-sunnah) atau bahkan wajib (yufidu al-wujub). Hal tersebut berbeda dengan satu perbuatan yang dilakukan nabi lalu diceritakan oleh sahabatnya (sunnah fi’liyyah). Bisa saja perbuatan nabi yang dilaporkan dalam hadis tersebut terjadi hanya beberapa kali, dan selain itu, bisa pula tidak ada unsur ibadah di dalam perbuatan tersebut (laysa minal qurbah). Namun, apapun, paling tidak yang bisa dipastikan dari sunnah fi’liyah yang berdiri sendiri adalah ia bukanlah satu kewajiban agama. Satu kaedah menerangkan: “mujarradu al-fi’li la yufidu al-wujub” (perbuatan nabi saja tidak mengindikasikan wajibnya perbuatan tersebut).

5. Tidur Berpahala di Bulan Ramadan

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي أَوْفِى قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَوْمُ الصَائِمِ عِبَادَةٌ وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَذَنْبُهُ مَغْفُوْرٌ

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam kitab Sya’bul Iman (vol. III, no. 3937), Abu Nuaim dalam al-Hilliyah (vol. V, no. 646) dan al-Dailami dalam Musnad al-Firdaus dari jalur Sulaiman bin Amru dari Abdul Malik dari Abdullah bin Abi Aufa dari Nabi Saw. Kritikus hadis seperti al-Iraqi dalam Takhrij Hadis Kitab Ihya karya al-Ghazali menyatakan bahwa Sulaiman bin Amru adalah pendusta (kadzzab). Begitu pula dengan penilaian Ibnu Hajar dalam Lisanul Mizan (vol. I, hal. 458) terhadapnya. Sedangkan Abdul Malik, Imam Ahmad menilainya lemah hafalan sehingga sering tertukar hafalannya (mudtharibul hadis). Abu Hatim al-Razi dalam al-Jarhu wa al-Ta’dilu (vol. 1, hal. 70) menilai Abdul Malik tidak memiliki hafalan (lam yushaf bil hifzhi). Nashiruddin Albani dalam al-Silsilah al-Dha’ifah (vol. 10, hal. 198) dan Shahih wa Dha’if al-Jami’ al-Shaghir (vol. 26, hal. 384) juga menilai hadis ini dha’if.

Beberapa pihak memegang teguh dan menganggap sahih hadis ini. Sehingga pada siang hari di bulan Ramadhan aktifitas yang mereka pilih hanyalah beristirahat atau tidur saja. Padahal jika ditimbang, hadis ini bertentangan dengan semangat Islam yang mengajarkan agar puasa tidak dijadikan penghalang untuk tetap produktif beraktifitas. Di dalam Sirah Nabawiyah misalnya kita menemukan sejumlah kejadian penting yang berlangsung di bulan Ramadhan, seperti Perang Badar, Fathu Makkah dan Perang Tabuk (Mubarakfuri, al-Rahiq al-Makhtum). Di samping itu, tentu daripada digunakan untuk tidur, waktu siang di bulan Ramadan akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk beribadah lainnya, seperti tilawah al-Quran dan membaca buku-buku keagamaan yang bermanfaat.

6. Puasa Menyehatkan

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اغْزُوا تَغْنَمُوا وَصُومُوا تَصِحُّوا وَسَافِرُوا تَسْتَغْنُوا

“Dari Abu Hurairah, ia berkata. Rasulullah Saw. bersabda: berperanglah kamu, niscaya kamu akan mendapatkan harta rampasan perang. Berpuasalah kamu, niscaya kamu akan sehat. Dan berpergianlah kamu, niscaya kamu akan menjadi kaya”

Hadis ini diriwayatkan oleh al-Tabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Awsath (no 8312) dan Abu Nu’aim dalam al-Tib al-Nabawi (no. 113). Jalur periwayatan hadis ini adalah dari Muhammad bin Sulaiman dari Zuhair bin Muhammad dari ayahnya dari Abu Hurairah. Al-Iraqi dalam Takhrij Hadis Ihya Ulumuddin karya al-Ghazali (vol. IV, hal. 135) , Ibnu Adi dalam al-Kamil (vol. VII, hal. 57) menilai hadis ini dha’if karena terdapat sosok Muhammad bin Sulaiman dan Zuhair bin Muhammad. Begitu pula dengan penilaian Nashiruddin Albani dalam al-Silsilah al-Dha’ifah (vol. I, hal. 330). Hadis ini memiliki dua syahid (koroborator) yang keduanya berstatus dha’if jiddan (lemah sekali) sehingga tidak bisa menaikkan hadis ini menjadi hasan.

Hadis ini barangkali adalah hadis dha’if yang paling sering muncul di bulan Ramadan. Bisa jadi, sesungguhnya niat orang yang menyampaikan hadis ini baik, yaitu untuk mengabarkan hikmah berpuasa yang dapat menyehatkan badan. Namun sayang sekali, di dalam agama Islam, kita diajarkan untuk tidak boleh menyandarkan sesuatu yang tidak berasal dari nabi kepada beliau, sekalipun hal itu merupakan perbuatan baik dan terbukti benar secara empirik. Tidak tanggung-tanggung, ancaman berbohong atas nama nabi adalah neraka. “Man kadzzaba ‘alayya muta’ammidan fal yatabawwa maq’adahu minan nar” (barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendakalah ia menyiapkan tempat duduknya kelak di hari akhir dari neraka) (HR. Bukhari-Muslim). Akan lebih aman jika ingin berbicara tentang kesehatan karena puasa, para muballigh menisbahkannnya langsung kepada penelitian-penelitian ilmiah di bidang kedokteran.

7. Harapan agar Ramadan Setahun Penuh

عَنِ اْبنِ مَسْعُوْدٍ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَقُوْلُ وَقَدْ أَهَلَّ رَمَضَانُ : لَوْ يَعْلَمِ الْعِبَادُ مَا فِي رَمَضَانَ ، لَتَمَنَّتْ أُمَّتِي أَنْ يَكُوْنَ رَمَضَانَ السَنَّةَ كُلَّهَا

“Dari Ibnu Mas’ud, bahwasanya ia mendengar Nabi Saw. bersabda ketika Ramadan tiba: Jika saja hamba-hamba (Allah) mengetahui (keutamaan) yang terdapat di bulan Ramadan, maka niscaya umatku pasti berharap agar Ramadan berlangsung selama setahun”

Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya (vol. I, no. 1032), Ibnu Khuzaimah dalam Sahih-nya (vol. III, no. 1886), Ibnu Hajar al-Haitsami dalam Majma’u al-Zawaid (vol. III, no. 4781), al-Suyuthi dalam Jami’ul Hadits (vol. XIIX, no. 19146), al-Baihaqi dalam Sya’bul Iman (vol. III, no. 3634), Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at (vol. II, no. 1119). Status ke-dhaif-an hadis ini sudah tingkat tinggi, yaitu maudhu’ (palsu). Sosok yang bermasalah dari rantaian sanad-nya adalah Jarir bin Ayyub yang dinilai munkarul hadis dan matrukul hadis (Bukhari, al-Dhu’afa al-Shaghir, vol. I, hal. 29). Al-Dzahabi dalam Mizanul I’tidal (vol. I, hal, 391) menilainya masyuhurun bi al-dha’fi (terkenal ke-dha’if -annya). Begitu pula dengan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Lisanul Mizan (vol. I, hal. 247).

8. Salat Tarawih 20 Rakaat

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى فِى شَهْرِ رَمَضَانَ فِى غَيْرِ جَمَاعَةٍ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً وَالْوِتْرَ

“Dari Ibnu Abbas, ia berkata: adalah Rasulullah Saw. salat (lail) di bulan Ramadan tanpa berjamaah sebanyak dua puluh rakaat beserta witir”

Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan al-Awsath, Ibnu Adi dalam al-Kamil, al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra. Semua riwayat dalam kitab-kitab tersebut melalui jalur Ibrahim bin Utsman dari Hikam dari Muqassam dari Ibnu Abbas. Menurut kritikus Ibnu Hajar al-Asqalani (Lisanul Mizan, vol. 3, hal. 164), Ibrahim bin Utsman adalah orang yang dha’if. Abu Hatim menilainya dalam al-Jarhu wa al-Ta’dilu (vol. I, hal. 132) sebagai tokoh yang hadisnya tidak perlu dicatat (la taktubanna ‘anhu syaian). Al-Haitsami dalam Majma’ud Zawaid (vol. II, hal. 120), al-Suyuthi dalam al-Laali al-Mashnu’ah (vol. II, hal 170) menilainya matruk (tidak terpakai). Hadis ini oleh Nashiruddin Albani dalam Irwaul Ghalil (vol. II, hal. 191) dan Shalatu al-Tarawih (hal. 22) telah divonis sebagai hadis palsu (maudhu’) dan lemas sekali (dha’if jiddan).

Selain itu, secara matan, hadis ini bertentang dengan informasi yang dibawah oleh hadis sahih lain yang menerangkan bahwa Rasulullah melakukan salat lail (tarawih) tidak lebih dari sebelas rakaat di bulan Ramadan. Hadis ini diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah Ra. Ibnu Hajar juga menyatakan (Fathul Bari, vol. 6, hal. 295) bahwa Aisyiah Ra. lebih kredibel untuk melaporkan aktifitas Rasulullah Saw. di malam hari dibandingkan Ibnu Abbas. Ini tidak berarti bahwa Ibnu Abbas tidak tahu sama sekali tentang kondisi salat lail Rasulullah, namun ini justru menunjukkan bahwa sesungguhnya nama Ibnu Abbas telah ‘dibajak’ oleh seorang pendusta untuk mengesahkan hadis palsunya. Hadis sahih tentang salat lail Rasulullah di bulan Ramadan adalah:

مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Tidaklah Rasulullah Saw. menambahkan (salat lailnya) di bulan Ramadan dan di bulan selain Ramadan lebih dari 11 rakaat”. (HR Bukhari dan Muslim).

9. Bulan Ramadan adalah Pemimpin Bulan-bulan Lainnya

سَيِّدُ الشُهُوْرِ شَهْرُ رَمَضَانَ ، وَ سَيِّدُ الْأَيَّامِ يَوْمُ الْجُمْعَةِ

“Pemimpin para bulan adalah bulan Ramadan, dan pemimpin para hari adalah hari Jum’at”

Hadis ini adalah hadits mauquf (yaitu riwayatnya tidak sampai ke Rasulullah, melainkan hanya sampai kepada sahabat saja). Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam kitab Fadhailu Ramadhan (keutamaan-keutamaan Ramadan), no. 33, dari jalur Ayyub bin Jabir dari Abu Ishaq dari Hubairah dari Ibnu Masud. Sosok yang dinilai lemah dari sanad hadis ini adalah Ayyub bin Jarir sendiri. Komentar Yahya bin Main, al-Nasai dan Abu Hatim (Mizanul I’tidal, vol. I, hal. 285), ia adalah orang yang lemah. Ibnu Hibban dalam al-Majruhin (vol. II, hal. 5) menilai Ayyub “lasya bi syai” (tidak dihitung sama sekali).

10. Pahala I’tikaf seperti Pahala Umrah dan Haji

رُوِيَ عَنْ عَلِي بْنِ حُسَيْنٍ عَنْ أَبِيْهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَنْ اِعْتَكَفَ عَشْرًا فِي رَمَضَانَ كَانَ كُحَجَّتَيْنِ وَعُمْرَتَيْنِ

“Diriwayatkan dari Ali bin Husain dari ayahnya Radhiyallahu ‘anhum, ia berkata. Rasulullah Saw. bersabda: barang siapa yang beri’tikaf pada sepuluh hari di bulan Ramadan, maka (pahalanya) seperti haji dua kali dan umrah dua kali”

Hadis ini diriwayatkan oleh Tabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir (vol. III, no. 2888) dan al-Baihaqi dalam Sya’bul Iman (vol. III, no. 3966, 3967). Salah seorang perawi dalam sanad hadis ini yaitu Muhammad bin Zadzan adalah orang yang hadisnya tidak dipakai (matruk) (Ibnu Hajar al-Asqalani, Lisanul Mizan, vol. II, hal 397). Al-Bukhari dalam al-Dhu’afa al-Shaghir (hal. 104) menilainya munkarul hadits. Ibnu Hibban bahkan dalam al-Majruhin (vol. II, hal. 178) menilainya sebagai sosok yang rajin membuat hadis-hadis palsu (shahibu asya maudhu’a) yang tidak bisa dijadikan pegangan (la yahillu al-ihtijaj bihi). Oleh Nashiruddin al-Albani dalam al-Silsilah al-Dlaifah (vol. 2, hal. 95) hadis ini telah dinyatakan sebagai hadis yang maudhu’ (palsu).

I’tikaf sendiri sesungguhnya adalah sunnah Rasulullah yang selalu beliau lakukan di setiap sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Bahkan di tahun wafatnya, beliau melakukan i’tikaf lebih panjang, yaitu selama 20 hari. Hadis-hadis sahih tentang pelaksanaan i’tikaf nabi, beserta i’tikaf sahabat dan istri-istri beliau sangat banyak. Namun, seperti dikatakan oleh Imam Ahmad, tidak ada satu pun hadis sahih yang menerangkan keutamaan i’tikaf (Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, vol. I, hal. 475). Sehingga jelas keterangan yang dibawa hadis di atas adalah sesuatu yang mengada-ada, sangat berlebih-lebihan dan merupakan kebohongan yang dinisbahkan kepada Rasulullah Saw. Wallahu A’lam bi al-Shawab.


Sumber : catatan fb Ust Muhammad Rofiq