Sabtu, 30 Juli 2011

10 Hadits Dha'if Seputar Bulan Ramadhan

Sekedar share ilmu....

--------------------------------

Ramadan adalah bulan Allah yang begitu mulia. Betapa banyak hadis-hadis yang menerangkan tentang keutamaan bulan ini. Diantaranya disebutkan bahwa Ramadan menghapus dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya dan menyediakan kesempatan yang lebih banyak untuk menambah pahala dengan memperbanyak ibadah. Berangkat dari semangat ibadah itulah kemudian banyak orang yang ‘terpeleset’ ke dalam ibadah-ibadah yang tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah di bulan ini. Ada banyak hadis-hadis dhaif, bahkan palsu (maudhu’) yang berserakan seputar bulan Ramadhan. Abdullah al-Himadi, seorang sarjana hadis dari Emirat Arab, menghimpun ratusan hadis dha’if dalam kitabnya Tahdziru al-Khillan min Riwayati al-Ahadits al-Dha’ifah haula Ramadhan. Menurut penelitian ini, terdapat lebih dari seratus hadis dha’if dan maudhu’ (palsu) seputar bulan Ramadan. Ini menunjukkan bahwa Ramadhan merupakan ‘surga empuk’ bagi beredarnya hadis-hadis palsu.

Dalam ilmu Mustalahul Hadis disebutkan bahwa di antara sebab munculnya hadis-hadis dha’if adalah semangat ibadah yang terlalu tinggi, namun tidak diiringi oleh sikap ke-hati-hati-an dalam melihat dalil-dalil agama. Subhi Salih (Ulumul Hadits wa Mustalahuh, 2009: 249) menyatakan bahwa banyak orang yang zuhud dan sufi di zaman dulu tak dapat menahan nafsu untuk memalsukan hadis untuk kepentingan mendorong orang berbuat baik. Di zaman sekarang kita sering kali pula menyaksikan para dai dan mubaligh, yang karena keterbatasan pengetahuan tentang kualitas dalil-dalil agama, juga terlibat dalam mempropagandakan hadis-hadis dha’if dan palsu tersebut. Padahal dalam Islam, semangat tinggi dan niat baik saja tidak cukup untuk beribadah, namun juga harus sesuai dengan tuntunan otentik yang dicontohkan Rasulullah Saw. (QS. 3: 31).

Definisi Hadis Sahih

Ibnu Salah (w. 643 H/1245), salah seorang ulama hadis abad pertengahan yang memiliki banyak pengaruh di kalangan ulama hadis sezaman dan sesudahnya, telah memberikan definisi atau pengertian hadis sahih sebagai berikut:

الْحَدِيْثُ الْمُسْنَدُ الذِي اِتَّصَلَ إِسْنَادُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَابِطِ عَنِ الْعَدْلِ الضَابِطِ إِلَي مُنْتَهَاُه وَ لَا يَكُوْنُ شَاذًا وَلَا مُعَلَّّلاً

“Hadis yang bersambung sanad-nya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh (periwayat) yang adil dan dhabit sampai akhir sanad, tidak terdapat di dalamnya kejanggalan dan cacat” (Muqaddimah Ibnu Shalah, vol. I, hal. 1).

Terdapat lima unsur dalam kriteria hadis sahih. Pertama, sanad bersambung. Yang dimaksud dengan sanad bersambung ialah tiap-tiap periwayat dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya, sampai akhir sanad dari hadis itu. Kedua, periwayat bersifat adil. Diantara unsur adil di sini adalah dapat dipercaya, tidak berbuat fasik, memelihara kehormatan dan tidak berbuar dosa besar. Ketiga, periwayat bersifat dhabit, yaitu orang yang kuat hafalannya tentang apa yang didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya itu kapan saja ia menghendakinya. Keempat, terhindar dari syaz, yaitu periwayatnya tidak terpecaya (tsiqat) atau matan dan sanad-nya bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang yang sama-sama terpercaya. Terhindar dari illat, yaitu sebab yang tersembunyi yang merusakkan kualitas hadis.

Pengertian hadis sahih yang telah disepakati oleh mayoritas ulama hadis di atas telah mencakup sanad dan matan hadis. Kriteria yang menyatakan bahwa rangkaian periwayat dalam sanad harus bersambung dan seluruh periwayatnya harus adil dan dhabit adalah kriteria untuk kesahihan sanad, sedang keterhindaran dari jangggal dan cacat, selain merupakan kriteria untuk sanad, juga berlaku untuk matan hadis (Nuruddin ‘Itr, Manhaju al-Naqdi fi Ulumil Hadis, 242-3). Karenanya, ulama hadis pada umumnya menyatakan bahwa hadis yang sanad-nya sahih belum tentu matan-nya juga sahih.

Dengan mengacu pada unsur-unsur kaidah kesahihan hadis tersebut, maka ulama menilai bahwa hadis yang memenuhi semua unsur itu dinyatakan sebagai hadis sahih, yakni sahih sanad dan sahih matan-nya. Apabila sebagian unsur tidak terpenuhi, maka hadis yang bersangkutan bukanlah hadis sahih, alias hadis dha’if.

Hukum Mengamalkan Hadis Dha’if

Para ulama sepakat untuk menolak pengamalan hadis dhaif, terutama yang berkaitan dengan informasi tentang halal dan haram. Para ahli hadis bersikap tasyaddud (ketat dan keras) dalam hal tersebut, sehingga mereka hanya menerima hadis yang paling tinggi derajatnya, atau yang disebut ‘sahih’. Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa bahkan dalam masalah istihbab (perbuatan yang dianggap sunnah) pun hadis dha’if tertolak. Dalam Majmu’atul Fatawa (vol. I, hal. 251), ia menyatakan:

وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ مِنَ الْأَئِمَّةِ إِنَّهُ يَجُوْزُ أَنْ يَجْعَلَ الشَىْءَ وَاجِبًا أَوْ مُسْتَحَبًّا بِحَدِيْثٍ ضَعِيْفٍ وَمَنْ قَالَ هَذَا فَقَدْ خَالَفَ اْلإِجْمَاعَ

“Tidak seorang imampun yang membolehkan menjadikan suatu perbuatan wajib ataupun sunnah dengan semata-mata hadis dha’if. Barang siapa yang mengatakan hal itu, maka sungguh ia telah menyalahi ijmak ulama”.

Hal itu ditambah lagi bahwa dalam agama Islam terdapat sebuah kaedah mengenai pelaksanaan ibadah, yakni ia harus berdasarkan nash yang otentik, baik dari al-Quran maupun al-Sunnah. Rumusan kaedah tersebut berbunyi:

الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ التَّحْرِيْمُ وَ الَتْوقِيْفُ

“Pada dasarnya hukum ibadah adalah haram dan menunggu perintah”

Namun dalam masalah keutamaan-keutamaan (fadhailu al-a’mal), terjadi perdebatan di kalangan para ulama. Sebagian ulama menolak secara mutlak hadis-hadis dhaif yang terkait dengan keutamaan-keutamaan satu perbuatan. Pendapat ini dipegang oleh Bukhari, Muslim, Ibnu Hazm, Ibnul Arabi dan Ibnu Hibban (al-Hamadi, 2002: 37). Sebagian menerimanya tanpa syarat apapun. Sebagian lagi menerima hadis dhaif dengan tiga syarat, yaitu: pertama, hadis yang diriwayatkan itu tidak terlalu daif, kedua, isinya termasuk ke dalam prinsip umum yang telah ditetapkan oleh al-Quran dan Hadis sahih lain, dan ketiga, tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat (Subhi Salih, 2009: 197). Ada pula yang menambahkan syarat keempat dan kelima, yaitu tidak menisbahkan hadis tersebut kepada Rasulullah saat mengamalkannya dan tidak mengandung informasi yang bertentangan dengan realitas empirik (Yusuf Qardlawi, Fatawa Mu'ashirah).

Hadis Dha’if Seputar Ramadan

1. Do’a Memasuki Bulan Ramadan

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ رَجَبَ قَالَ : اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَارِكْ لَنَا فِي رَمَضَانَ

Artinya; “Dari Anas bin Malik, ia berkata, adalah Nabi Saw. apabila memasuki bulan Rajab, beliau berdo’a, Ya Allah, karunialah kami keberkahan di bulan Rajab dan Sya’ban, dan karunialah kami keberkahan di bulan Ramadan”.

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad (vol. V, no. 2387), Ibnu Abi Dunya dalam Fadhlu Ramadhan, Imam Baihaqi dalam kitab Sya’bu al-Iman (vol. VIII, no. 3654), Abu Nu’aim dalam al-Hulliyah (vol. VI, no. 269), al-Bazzar dalam kitab Musnad (no 402) dan al-Tabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath (vol. IX, no. 4086). Dalam hadis ini terdapat dua tokoh yang lemah, yaitu Zaidah bin Abi Raqqad dan Ziyad bin Abdillah al-Numairi al-Bashri. Menurut Bukhari dan Nasai (al-Dhu’afa wa al-Matrukin, vol. I, hal. 180) mereka adalah orang yang munkar al-hadist. Selain itu, hadis ini telah di-dhaif-kan oleh kritikus hadis terkemuka, di antaranya adalah al-Nawawi dalam kitab al-Adzkar (vol. I, no. 541), al-Dzahabi dalam Mizanu al-I’tidal (vol. II, hal. 65), Ibnu Hajar dalam Tahdzibu al-Tahdzib (vol. III, hal. 263), Ahmad Syakir dan Syu’aib Arnauth ketika men-tahqiq kitab Musnad imam Ahmad serta Nashiruddin Albani dalam Misykatul Mashabih (vol. I, hal. 306).

Do’a di atas sesungguhnya merupakan sesuatu yang sangat baik dan positif, karena seperti dinyatakan Ibnu Rajab al-Hanbali (al-Manawi, Faidhul Qadir, vol. V, hal. 167) ia melambangkan harapan seorang mukmin agar bisa mendapatkan kesempatan menambah amal salihnya. Di luar ibadah mahdlah, seorang muslim memang diperkenankan untuk mengucapkan do’a-do’a yang baik, bahkan dengan selain bahasa arab sekalipun. Inilah alasan mengapa para ahli hadis masih bersedia ‘meloloskannya’ dalam kitab hadis masing-masng. Imam Ahmad pernah mengatakan: “idza jaa al-halal wa al-haram syaddadna fi al-asanid, wa idza jaa al-targhib wa al-tarhib tasahhalna fi al-asanid” (jika terdapat satu hadis mengenai halal dan haram, kami perketat penyeleksian sanad, dan jika terdapat satu hadis tentang tentang dorongan berbuat baik dan ancaman berbuat maksiat, kami mudahkan penyeleksian sanad) (dikutip dari Majmuatu al-Fatawa Ibnu Taimiyyah, vol. XIIX, hal. 65). Sehingga do’a di atas pada dasarnya tidak masalah jika ingin diucapkan, dengan syarat tidak meyakininya sebagai sebuah hadis yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.

2. Keutamaan Bulan Ramadan

أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرَهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ

Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab Sahih-nya (vol. III, no. 1887) dan al-Baihaqi dalam Sya’bul Iman (vol. III, no. 3068). Hadis ini tercantum pula dalam kitab Fadlailu Ramadan karya Ibnu Abi Dunya, al-Dlu’afa karya al-‘Uqaili dan al-Kamil karya Ibnu Adi. Mengenai statusnya, di dalam rantaian periwayatnya terdapat Sallam bin Sawar yang dinilai oleh para kritikus hadis sebagai orang yang dhaif (Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, hal. 441)) dan Maslamah bin al-Shalt, seorang perawi yang tidak dikenal (laysa bil ma’ruf) dan hadisnya tidak dipakai (matrukul hadis). Menurut ahli hadis kontemporer, Nashiruddin Albani, hadis ini adalah hadis munkar (al-Silsilah al-Dlaifah, vol. IV, no. 1569). Hadis munkar adalah hadis di mana sanad-nya terdapat rawi yang pernah melakukan kesalahan yang parah, pelupa, atau ia seorang yang jelas melakukan maksiat (fasiq).

Ke-dhaif-an hadis ini bisa pula ditinjau dari segi matan, karena telah membagi dan membatasi rahmat, maghfirah dan pembebasan neraka dari Allah pada waktu-waktu tertentu. Padahal tiga hal tersebut ada selama berlangsungnya Ramadhan. Konsekwensi dari ke-dhaif-annya, hadis ini tidak bisa dipakai, karena telah menyempitkan apa yang dibuat luas oleh Allah. Para dai dan mubaligh sebaiknya tidak menyampaikannya, bahkan sebisa mungkin memperingatkan jamaah akan status dhaif dari hadis ini, baik secara matan ataupun sanad.

Sebagai alternatifnya, bisa disampaikan hadis-hadis lain yang menerangkan keutamaan bulan Ramadan. Misalnya hadis:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لَمَّا حَضَرَ رَمَضَانُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ (رواه أحمد و البيهقي)

“Dari Abu Hurairah ia berkata, tatkala Ramadan tiba, Rasulullah Saw. bersabda: telah datang kepadamu bulan Ramadan, bulan yang penuh berkah. Allah mewajibkan atas kamu sekalian berpuasa di dalamnya. Selama bulan ini, pintu surga di buka, pintu neraka ditutup dan syaitan-syaitan dibelenggu. Di dalamnya terdapat malam Lailatul Qadr yang lebih baik dari pada seribu bulan. Barang siapa yang tidak mendapatkan kebaikan pada malam ini,maka ia tidak mendapatkan kebaikan Lailatul Qadr.

3. Do’a Berbuka Puasa

عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَ عَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

“Dari Mu’adz bin Zahrah, bahwasanya telah sampai kepadanya bahwa nabi Muhammad Saw. apabila berbuka, beliau berdoa: “Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu”.

Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya (vol. VII/no. 2360), al-Baihaqi dalam al-Sunan (vol. II, no. 8392) dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf (vol. II, no. 9744). Di dalam hadis ini terdapat sosok Mu’adz bin Zahrah yang dipermasalahkan para kritikus hadis. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani (Tahdzibul Kamal, vol. XXIIX, hal. 122, Tahdzibut Tahdzib, vol. X, hal. 172) tabiin satu ini sering meriwayatkan hadis secara mursal (tidak menyebutkan perawi dari tingkatan sahabat). Al-Nawawi dalam al-Adzkar (hal. 190), kitab yang menghimpun do’a-do’a, juga mengakui hadis ini memiliki status mursal. Selain itu, Ibnu Qayyim dalam Zadul Ma’ad (vol. II, hal. 48) menilai hadis ini la yutsbat (tidak pasti berasal dari nabi), al-Syaukani dalam Naylul Authar menilainya matruk (tidak digunakan). Menurut Albani dalam Irwaul Ghalil (vol. IV, hal. 38), hadis ini berstatus dhaif.

Sekalipun jalurnya banyak, hadis ini tidak bisa terangkat menjadi hasan seperti yang dinyatakan dalam adagium ‘ya’dhadhu ba’dhahu ba’dhan’ (menguatkan satu sama lain), karena status dhaif-nya yang tingkat tinggi. Maka, dalam hal ini berlaku kaedah, katsaratu al-turuq la tadullu ‘ala sihhati al-hadist tamaman (banyaknya jalur periwayatan tidak menunjukkan kesahihan hadis secara otomatis). Sebagai alternatif do’a yang bisa dipanjatkan saat berbuka adalah doa berikut:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ : ذَهَبَ الظَّمأُ ، وابْتَلَّتِ العُرُوقُ ، وثَبَتَ الأجرُ إِن شاءَ اللهُ

Dari Abdullah bin Umar bin Khattab Ra. ia berkata, adalah Rasulullah Saw. apabila berbuka, beliau berdo’a: “dzahab al-zhamau wa ibtalati al-uruqu wa tsabata al-ajru insya Allah” (telah hilanglah rasa dahaga, dan telah basahlah tenggorokan, dan tetaplah pahala, insya Allah). (HR. Abu Dawud, Nasai, Bazar, Dlaruqutni, Hakim dan Baihaqi)

  1. 4. Berbuka dengan Kurma

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى تَمْرٍ ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَى مَاءٍ فَإِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ

“Jika salah seorang di antara kamu sekalian berbuka, hendaklah ia berbuka dengan kurma, jika ia tidak menemukannya, maka dengan air, karena sesungguhnya air itu suci”.

Hadis tentang berbuka puasa dengan kurma dengan redaksi yang melaporkan sabda nabi (sunnah qauliiyah) seperti ini menurut tiga orang kritikus hadis kontemporer, Muqbil bin Hadi, al-Hilali dan al-Albani (Shahih wa Dha’if Sunan Tirmidzi, vol. II, 158, Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah, vol. IV, hal. 199) adalah hadis dhaif. Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad (no. 16655), Tirmidzi (no. 660), Ibnu Majah (no. 1699), al-Darimi (no. 1754) dalam Sunan mereka masing-masing, Ibnu Hiban dalam al-Sahih (no. 3584), Tabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir (no. 6196) dan Baihaqi dalam Sya’bul Iman (no. 3742) dan al-Nasai dalam al-Sunan al-Kubra (no. 3326).

Sekalipun hadis ini diriwayatkan oleh banyak penulis hadis (mukharrij), namun hanya memiliki jalur tunggal, yaitu dari Hafshah binti Shirrin dari Rabab dari Salman bin Amir. Menurut al-Dzahabi dalam Mizanul I’tidal (vol. IV. Hal. 606) wanita bernama Rabab dalam hadis ini adalah tokoh yang tidak diketahui (la tu’raf). Hadis ini tidak memiliki satu pun syahid (penguat dari hadis lain), kecuali satu hadis dari jalur sahabat Anas bin Malik yang ternyata di dalamnya juga terdapat illat (kecacatan), karena terdapat seorang perawi yang bernama Said bin Amir yang dinilai sering melakukan kesalahan (yukhti katsiran) (Albani, Irwaul Ghalil, vol. IV, hal. 50).

Sebagai alternatif dari ke-dha’if-an hadis qauli mengenai berbuka dengan kurma di atas, terdapat satu hadis fi’liy (sunnah fi’liyah), yang diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik. Hadis tersebut berbunyi :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ عَلَى رُطَبَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَتُمَيْرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تُمَيْرَاتٌ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

Artinya: “Dari Anas bin Malik ia berkata, adalah “Rasulullah Sawbiasa berbuka dengan beberapa biji ruthab (kurma masak yang belum jadi tamr) sebelum shalat Maghrib; jika tidak ada beberapa biji ruthab, maka cukup beberap biji tamr (kurma kering); jika itu tidak ada juga, maka beliau minum beberapa teguk air.” (HR Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud, Hakim dan Baihaqi)

Perbedaan redaksi dalam hadis, antara perintah (fi’lul amri) dan laporan sahabat mengenai perbuatan nabi, membawa implikasi sendiri dalam penetapan hukum. Dalam usul fikih diterangkan bahwa hadis yang datang dalam bentuk fi’lu al-amri bisa bermakna sunnah (yufidu al-sunnah) atau bahkan wajib (yufidu al-wujub). Hal tersebut berbeda dengan satu perbuatan yang dilakukan nabi lalu diceritakan oleh sahabatnya (sunnah fi’liyyah). Bisa saja perbuatan nabi yang dilaporkan dalam hadis tersebut terjadi hanya beberapa kali, dan selain itu, bisa pula tidak ada unsur ibadah di dalam perbuatan tersebut (laysa minal qurbah). Namun, apapun, paling tidak yang bisa dipastikan dari sunnah fi’liyah yang berdiri sendiri adalah ia bukanlah satu kewajiban agama. Satu kaedah menerangkan: “mujarradu al-fi’li la yufidu al-wujub” (perbuatan nabi saja tidak mengindikasikan wajibnya perbuatan tersebut).

5. Tidur Berpahala di Bulan Ramadan

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي أَوْفِى قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَوْمُ الصَائِمِ عِبَادَةٌ وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَذَنْبُهُ مَغْفُوْرٌ

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam kitab Sya’bul Iman (vol. III, no. 3937), Abu Nuaim dalam al-Hilliyah (vol. V, no. 646) dan al-Dailami dalam Musnad al-Firdaus dari jalur Sulaiman bin Amru dari Abdul Malik dari Abdullah bin Abi Aufa dari Nabi Saw. Kritikus hadis seperti al-Iraqi dalam Takhrij Hadis Kitab Ihya karya al-Ghazali menyatakan bahwa Sulaiman bin Amru adalah pendusta (kadzzab). Begitu pula dengan penilaian Ibnu Hajar dalam Lisanul Mizan (vol. I, hal. 458) terhadapnya. Sedangkan Abdul Malik, Imam Ahmad menilainya lemah hafalan sehingga sering tertukar hafalannya (mudtharibul hadis). Abu Hatim al-Razi dalam al-Jarhu wa al-Ta’dilu (vol. 1, hal. 70) menilai Abdul Malik tidak memiliki hafalan (lam yushaf bil hifzhi). Nashiruddin Albani dalam al-Silsilah al-Dha’ifah (vol. 10, hal. 198) dan Shahih wa Dha’if al-Jami’ al-Shaghir (vol. 26, hal. 384) juga menilai hadis ini dha’if.

Beberapa pihak memegang teguh dan menganggap sahih hadis ini. Sehingga pada siang hari di bulan Ramadhan aktifitas yang mereka pilih hanyalah beristirahat atau tidur saja. Padahal jika ditimbang, hadis ini bertentangan dengan semangat Islam yang mengajarkan agar puasa tidak dijadikan penghalang untuk tetap produktif beraktifitas. Di dalam Sirah Nabawiyah misalnya kita menemukan sejumlah kejadian penting yang berlangsung di bulan Ramadhan, seperti Perang Badar, Fathu Makkah dan Perang Tabuk (Mubarakfuri, al-Rahiq al-Makhtum). Di samping itu, tentu daripada digunakan untuk tidur, waktu siang di bulan Ramadan akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk beribadah lainnya, seperti tilawah al-Quran dan membaca buku-buku keagamaan yang bermanfaat.

6. Puasa Menyehatkan

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اغْزُوا تَغْنَمُوا وَصُومُوا تَصِحُّوا وَسَافِرُوا تَسْتَغْنُوا

“Dari Abu Hurairah, ia berkata. Rasulullah Saw. bersabda: berperanglah kamu, niscaya kamu akan mendapatkan harta rampasan perang. Berpuasalah kamu, niscaya kamu akan sehat. Dan berpergianlah kamu, niscaya kamu akan menjadi kaya”

Hadis ini diriwayatkan oleh al-Tabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Awsath (no 8312) dan Abu Nu’aim dalam al-Tib al-Nabawi (no. 113). Jalur periwayatan hadis ini adalah dari Muhammad bin Sulaiman dari Zuhair bin Muhammad dari ayahnya dari Abu Hurairah. Al-Iraqi dalam Takhrij Hadis Ihya Ulumuddin karya al-Ghazali (vol. IV, hal. 135) , Ibnu Adi dalam al-Kamil (vol. VII, hal. 57) menilai hadis ini dha’if karena terdapat sosok Muhammad bin Sulaiman dan Zuhair bin Muhammad. Begitu pula dengan penilaian Nashiruddin Albani dalam al-Silsilah al-Dha’ifah (vol. I, hal. 330). Hadis ini memiliki dua syahid (koroborator) yang keduanya berstatus dha’if jiddan (lemah sekali) sehingga tidak bisa menaikkan hadis ini menjadi hasan.

Hadis ini barangkali adalah hadis dha’if yang paling sering muncul di bulan Ramadan. Bisa jadi, sesungguhnya niat orang yang menyampaikan hadis ini baik, yaitu untuk mengabarkan hikmah berpuasa yang dapat menyehatkan badan. Namun sayang sekali, di dalam agama Islam, kita diajarkan untuk tidak boleh menyandarkan sesuatu yang tidak berasal dari nabi kepada beliau, sekalipun hal itu merupakan perbuatan baik dan terbukti benar secara empirik. Tidak tanggung-tanggung, ancaman berbohong atas nama nabi adalah neraka. “Man kadzzaba ‘alayya muta’ammidan fal yatabawwa maq’adahu minan nar” (barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendakalah ia menyiapkan tempat duduknya kelak di hari akhir dari neraka) (HR. Bukhari-Muslim). Akan lebih aman jika ingin berbicara tentang kesehatan karena puasa, para muballigh menisbahkannnya langsung kepada penelitian-penelitian ilmiah di bidang kedokteran.

7. Harapan agar Ramadan Setahun Penuh

عَنِ اْبنِ مَسْعُوْدٍ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَقُوْلُ وَقَدْ أَهَلَّ رَمَضَانُ : لَوْ يَعْلَمِ الْعِبَادُ مَا فِي رَمَضَانَ ، لَتَمَنَّتْ أُمَّتِي أَنْ يَكُوْنَ رَمَضَانَ السَنَّةَ كُلَّهَا

“Dari Ibnu Mas’ud, bahwasanya ia mendengar Nabi Saw. bersabda ketika Ramadan tiba: Jika saja hamba-hamba (Allah) mengetahui (keutamaan) yang terdapat di bulan Ramadan, maka niscaya umatku pasti berharap agar Ramadan berlangsung selama setahun”

Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya (vol. I, no. 1032), Ibnu Khuzaimah dalam Sahih-nya (vol. III, no. 1886), Ibnu Hajar al-Haitsami dalam Majma’u al-Zawaid (vol. III, no. 4781), al-Suyuthi dalam Jami’ul Hadits (vol. XIIX, no. 19146), al-Baihaqi dalam Sya’bul Iman (vol. III, no. 3634), Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at (vol. II, no. 1119). Status ke-dhaif-an hadis ini sudah tingkat tinggi, yaitu maudhu’ (palsu). Sosok yang bermasalah dari rantaian sanad-nya adalah Jarir bin Ayyub yang dinilai munkarul hadis dan matrukul hadis (Bukhari, al-Dhu’afa al-Shaghir, vol. I, hal. 29). Al-Dzahabi dalam Mizanul I’tidal (vol. I, hal, 391) menilainya masyuhurun bi al-dha’fi (terkenal ke-dha’if -annya). Begitu pula dengan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Lisanul Mizan (vol. I, hal. 247).

8. Salat Tarawih 20 Rakaat

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى فِى شَهْرِ رَمَضَانَ فِى غَيْرِ جَمَاعَةٍ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً وَالْوِتْرَ

“Dari Ibnu Abbas, ia berkata: adalah Rasulullah Saw. salat (lail) di bulan Ramadan tanpa berjamaah sebanyak dua puluh rakaat beserta witir”

Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan al-Awsath, Ibnu Adi dalam al-Kamil, al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra. Semua riwayat dalam kitab-kitab tersebut melalui jalur Ibrahim bin Utsman dari Hikam dari Muqassam dari Ibnu Abbas. Menurut kritikus Ibnu Hajar al-Asqalani (Lisanul Mizan, vol. 3, hal. 164), Ibrahim bin Utsman adalah orang yang dha’if. Abu Hatim menilainya dalam al-Jarhu wa al-Ta’dilu (vol. I, hal. 132) sebagai tokoh yang hadisnya tidak perlu dicatat (la taktubanna ‘anhu syaian). Al-Haitsami dalam Majma’ud Zawaid (vol. II, hal. 120), al-Suyuthi dalam al-Laali al-Mashnu’ah (vol. II, hal 170) menilainya matruk (tidak terpakai). Hadis ini oleh Nashiruddin Albani dalam Irwaul Ghalil (vol. II, hal. 191) dan Shalatu al-Tarawih (hal. 22) telah divonis sebagai hadis palsu (maudhu’) dan lemas sekali (dha’if jiddan).

Selain itu, secara matan, hadis ini bertentang dengan informasi yang dibawah oleh hadis sahih lain yang menerangkan bahwa Rasulullah melakukan salat lail (tarawih) tidak lebih dari sebelas rakaat di bulan Ramadan. Hadis ini diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah Ra. Ibnu Hajar juga menyatakan (Fathul Bari, vol. 6, hal. 295) bahwa Aisyiah Ra. lebih kredibel untuk melaporkan aktifitas Rasulullah Saw. di malam hari dibandingkan Ibnu Abbas. Ini tidak berarti bahwa Ibnu Abbas tidak tahu sama sekali tentang kondisi salat lail Rasulullah, namun ini justru menunjukkan bahwa sesungguhnya nama Ibnu Abbas telah ‘dibajak’ oleh seorang pendusta untuk mengesahkan hadis palsunya. Hadis sahih tentang salat lail Rasulullah di bulan Ramadan adalah:

مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Tidaklah Rasulullah Saw. menambahkan (salat lailnya) di bulan Ramadan dan di bulan selain Ramadan lebih dari 11 rakaat”. (HR Bukhari dan Muslim).

9. Bulan Ramadan adalah Pemimpin Bulan-bulan Lainnya

سَيِّدُ الشُهُوْرِ شَهْرُ رَمَضَانَ ، وَ سَيِّدُ الْأَيَّامِ يَوْمُ الْجُمْعَةِ

“Pemimpin para bulan adalah bulan Ramadan, dan pemimpin para hari adalah hari Jum’at”

Hadis ini adalah hadits mauquf (yaitu riwayatnya tidak sampai ke Rasulullah, melainkan hanya sampai kepada sahabat saja). Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam kitab Fadhailu Ramadhan (keutamaan-keutamaan Ramadan), no. 33, dari jalur Ayyub bin Jabir dari Abu Ishaq dari Hubairah dari Ibnu Masud. Sosok yang dinilai lemah dari sanad hadis ini adalah Ayyub bin Jarir sendiri. Komentar Yahya bin Main, al-Nasai dan Abu Hatim (Mizanul I’tidal, vol. I, hal. 285), ia adalah orang yang lemah. Ibnu Hibban dalam al-Majruhin (vol. II, hal. 5) menilai Ayyub “lasya bi syai” (tidak dihitung sama sekali).

10. Pahala I’tikaf seperti Pahala Umrah dan Haji

رُوِيَ عَنْ عَلِي بْنِ حُسَيْنٍ عَنْ أَبِيْهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَنْ اِعْتَكَفَ عَشْرًا فِي رَمَضَانَ كَانَ كُحَجَّتَيْنِ وَعُمْرَتَيْنِ

“Diriwayatkan dari Ali bin Husain dari ayahnya Radhiyallahu ‘anhum, ia berkata. Rasulullah Saw. bersabda: barang siapa yang beri’tikaf pada sepuluh hari di bulan Ramadan, maka (pahalanya) seperti haji dua kali dan umrah dua kali”

Hadis ini diriwayatkan oleh Tabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir (vol. III, no. 2888) dan al-Baihaqi dalam Sya’bul Iman (vol. III, no. 3966, 3967). Salah seorang perawi dalam sanad hadis ini yaitu Muhammad bin Zadzan adalah orang yang hadisnya tidak dipakai (matruk) (Ibnu Hajar al-Asqalani, Lisanul Mizan, vol. II, hal 397). Al-Bukhari dalam al-Dhu’afa al-Shaghir (hal. 104) menilainya munkarul hadits. Ibnu Hibban bahkan dalam al-Majruhin (vol. II, hal. 178) menilainya sebagai sosok yang rajin membuat hadis-hadis palsu (shahibu asya maudhu’a) yang tidak bisa dijadikan pegangan (la yahillu al-ihtijaj bihi). Oleh Nashiruddin al-Albani dalam al-Silsilah al-Dlaifah (vol. 2, hal. 95) hadis ini telah dinyatakan sebagai hadis yang maudhu’ (palsu).

I’tikaf sendiri sesungguhnya adalah sunnah Rasulullah yang selalu beliau lakukan di setiap sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Bahkan di tahun wafatnya, beliau melakukan i’tikaf lebih panjang, yaitu selama 20 hari. Hadis-hadis sahih tentang pelaksanaan i’tikaf nabi, beserta i’tikaf sahabat dan istri-istri beliau sangat banyak. Namun, seperti dikatakan oleh Imam Ahmad, tidak ada satu pun hadis sahih yang menerangkan keutamaan i’tikaf (Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, vol. I, hal. 475). Sehingga jelas keterangan yang dibawa hadis di atas adalah sesuatu yang mengada-ada, sangat berlebih-lebihan dan merupakan kebohongan yang dinisbahkan kepada Rasulullah Saw. Wallahu A’lam bi al-Shawab.


Sumber : catatan fb Ust Muhammad Rofiq

Senin, 25 Juli 2011

Belajar Cardiovaskular dari Al-Qur'an

Darah dan Sistem Sirkulasi

Darah disebutkan di beberapa bagian di Al-Qur’an dan hadits. Darah yang disebutkan tersebut secara umum berhubungan dengan keturunan, identitas, menstruasi, penyembelihan hewan untuk dikonsumsi, dan embriologi.

Dalam surat Al-Qaaf: 16 kita bisa lihat bagaimana deskripsi tentang dekatnya Allah dengan manusia.

qaaf-16

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.”

Urat leher yang dimaksudkan dalam ayat tersebut ialah pembuluh darah yang terdapat di leher yaitu vena jugular.

Copy_of_picture-12

Pertanyaan yang kemudian timbul dari ayat ini ialah mengapa harus menganalogikan kedekatan Allah dengan pembuluh darah? Lalu kenapa harus yang di leher? Sebegitu pentingkah pembuluh darah tersebut?

Jika kita lihat secara anatomis, vena jugular membawa darah dari bagian kepala (otak, kranium/tempurung kepala, wajah) dan leher untuk kembali ke jantung jadi bisa disimpulkan betapa penting dan vitalnya pembuluh ini.

Bisa kita lihat dari ayat ini kalau pencipta Al-Qur’an (Allah SWT) benar-benar mengetahui betapa pentingnya darah, pembuluh darah, serta sirkulasi darah di seluruh tubuh. Jika Allah tidak mengetahui pentingnya darah, pasti analogi yang digunakan bukanlah pembuluh darah yang notabenenya berfungsi untuk mengalirkan darah. Lalu jika Allah tidak mengetahui sirkulasi darah di seluruh tubuh, buat apa Allah men-spesifikasi-kan analoginya dengan pembuluh darah di leher?

Pembuluh darah besar lainnya yang disebutkan dalam Qur’an ialah Al-Aatiin (aorta). Aorta merupakan pembuluh darah besar yang mengalirkan darah langsung dari jantung untuk disebarkan ke seluruh tubuh.

HeartAortaBlood


Surat Al Haqqah ayat 45&46:

69_45

69_46

“Niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.”

Maksud dari ayat tersebut ialah jika Rasulullah SAW berdusta terhadap Allah maka sanksi yang akan diberikan ialah pemotongan pembuluh darah yang keluar dari jantungnya (aorta) sehingga kematian adalah hasil akhirnya.

Aorta memiliki aliran darah yang cepat karena tekanannya langsung berasal dari kontraksi jantung, selain itu volume darahnya masih sangat banyak (hanya punya 1 percabangan kecil yaitu koroner) oleh karena itu ketika aorta dipotong maka konsekuensinya ialah akan terjadi pendarahan yang sangat hebat lalu syok dan dengan mudahnya dapat menimbulkan kematian.

Ayat ini menjelaskan bahwa: 1. Darah dipandang sebagai suatu “kendaraan” untuk hidup, 2. Arteri yang langsung berasal dari jantung (aorta) penting untuk mempertahankan hidup.

Jantung

Jantung disebutkan beberapa kali di Al-Qur’an dan hadits. Perbedaan keadaan jantung (seringkali kata “heart” diartikan sebagai “hati” dalam teks Indonesia) digambarkan di Al-Qur’an menjadi tiga: keadaan jantung orang mukminin, kafirun, dan munafiqun. Orang-orang mukminin digambarkan memiliki jantung yang hidup, orang kafir memiliki jantung yang mati, sedangkan orang munafik memiliki jantung yang sakit.

Dua tipe jantung yang dijelaskan dalam Qur’an yaitu jantung secara spiritual dan fisik.

Para ulama menyatakan terdapat 2 tipe dari jantung spiritual: syubhat (keragu-raguan karena suatu hal yang dalilnya masih dalam pembicaraan atau masih ada perselisihan, maka lebih baik menghindari hal tersebut sebagai bentuk kehati-hatian) dan syahwat/nafsu yang ketika berlebihan maka akan membawa keburukan. Emosi, tingkah laku, pengetahuan, penyakit, keinginan, kejujuran, aksi dan reaksi semuanya berakar pada jantung. Dengan demikian, peranan jantung di dalam Islam tidak hanya dipandang secara fisiologi tetapi juga dari sisi psikologi.

Al-Qur’an dan hadits menganalogikan jantung sebagai pengatur emosi sehingga menjadikan jantung memiliki banyak karakteristik yang pada kedokteran modern dianggap berasal dari otak.

Selain memandang jantung dari sisi psikologis, Islam juga memandang jantung dari segi anatomis dan fisiologis.

-Ingatlah, dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Kalau segumpal daging itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya. Tetapi, bila rusak, niscaya akan rusak pula seluruh tubuhnya. Segumpal daging itu bernama qolbu!- (HR. Bukhari dan Muslim).


Dari hadits diatas dapat diketahui bahwa ternyata jantung merupakan kumpulan otot (segumpal daging) dan bukannya cair seperti darah ataupun padat dan keras seperti tulang.

Terdapat juga hadits yang menggambarkan tentang proses operasi jantung, ekstraksi (pengeluaran) gumpalan darah/trombus, dan juga penanganan penyakit jantung.


"Ketika aku sedang berada di belakang rumah bersama saudaraku (saudara angkat) menggembalakan anak kambing, tiba-tiba aku didatangi dua orang lelaki-mereka mengenakan baju putih- dengan membawa baskom yang terbuat dari emas penuh dengan es (zam-zam). Kedua orang itu menangkapku, lalu membedah dadaku. Keduanya mengeluarkan hatiku dan membedahnya, lalu mereka mengeluarkan gumpalan hitam darinya dan membuangnya. Kemudian keduanya membersihkan dan menyucikan hatiku dengan air itu sampai bersih."


Pendeskripsian mengenai proses operasi ini membutuhkan keilmuan di bidang anatomi jantung, fisiologi jantung, dan efek buruk trombus/gumpalan darah.

Penyakit kardiovaskular

Walaupun tidak dijelaskan secara eksplisit di Al-Qur’an dan hadits, gaya hidup yang diajarkan disana dapat menurunkan secara drastis kemungkinan seseorang mendapatkan penyakit kardiovaskular seperti penyakit jantung, penggumpalan darah, atherosklerosis, maupun arteriosklerosis dengan cara meningkatkan aktivitas spiritual, makan tidak berlebihan (cukup), kegiatan fisik yang cukup, mengurangi marah dan dengki, menghindari sifat rakus, dan tidak memakan makanan dan minuman yang diharamkan.

Muslim melakukan shalat wajib 5x sehari, terdiri dari gerakan berdiri, sujud, dan duduk. Ketika melakukan shalat, Allah menyuruh kita untuk tidak melakukannya dengan bermalas-malasan. Orang yang melakukan shalat secara bermalas-malasan tidak akan mendapatkan keuntungan apapun baik dari sisi spiritual maupun fisik untuk kesehatannya. Jumlah sujud bervariasi dari waktu sahalat satu dengan yang lain sehingga jumlah gerakan fisik pun menjadi turut berbeda. Terdapat peningkatan jumlah sujud dari pagi-malam sesuai dengan aktivitas yang dilakukan manusia. Ketika siang-sore seseorang biasanya makan dengan porsi lebih banyak, dengan melakukan aktivitas yang cukup pada saat tersebut dapat membantu mempercepat pencernaan makanan dan dalam jangka panjang dapat mengurangi peluang terbentuknya trombus. Rasulullah SAW menasehati kita untuk tidak segera tidur dan melakukan aktivitas yang berlebihan setelah makan.

Gerakan ketika shalat juga dapat mencegah terjadinya pembentukan thrombosis pada vena dalam (Deep Vein Thrombosis). Gerakan berdiri dan duduk yang dilakukan berulang-ulang sepanjang hari dapat mengaktifkan muscle pump (otot rangka yang membantu memberikan tekanan ke pembuluh darah untuk mengembalikan darah ke jantung) di bagian kaki (seperti gastrocnemius dan soleus) yang mampu meningkatkan venous return (kembalinya darah dari vena ke jantung) ketika berdiri dan memindahkan darah dari vena perifer (tepi) ke vena sentral sehingga dapat mencegah terjadinya edema (pembengkakan) dan pembentukan trombus.

h9991569_001

Selain itu Rasulullah SAW juga menyarankan kepada kita untuk mengkonsumsi makanan-makanan seperti ikan yang rendah lemak dan dapat membantu menurunkan kadar kolesterol, dan juga biji-bijian yang memiliki serat yang tinggi.

Kolesterol yang tinggi dapat memicu timbulnya kerusakan pada pembuluh darah, seperti penyakit jantung koroner akibat atherosklerosis.

Allah melarang kita untuk memakan daging babi dan alkohol. Dengan mengkonsumsi daging babi, seseorang beresiko terkena penyakit seperti trichinella dan taeniasis, selain itu kandungan lemak dan kalorinya juga tinggi. Walaupun Allah mengakui adanya manfaat dari alkohol, tapi Allah menyatakan bahwa mudharat/keburukannya lebih banyak daripada manfaatnya jika dikonsumsi. Alkohol dapat mengakibatkan efek buruk pada banyak organ, seperti liver, usus, lambung, pankreas, jantung, dan otak.

Jadi, dengan mengikuti gaya hidup yang disarankan oleh Qur’an dan hadits dapat mengurangi kemungkinan terjadinya berbagai penyakit kardiovaskular.


Sumber : sementara copast dg berbagai editing disana sini...

#kapan2 ta'nulis dewe, hehe..... ^^

Minggu, 24 Juli 2011

-secuil kisah masyarakat di kampungku- (part 2)



Masih dari balik kursi baris ketiga, rombongan bis tujuan Ponorogo....

...Ahh perjalanan masih jauh, masih harus melewati bukit-bukit, tikungan-tikungan jalan jalanan menuju Purwantoro.....dan cerita dari bulekku pun masih mengalirr, bercengkerama sambil menikmati senja yang mulai datang.

Kali ini yang aku tuliskan cerita tentang kebiasaan masyarakat di kampungku.....dan yang ini terus terang aku sangat tidak setuju. Tentang budaya becekan,.. becekan itu budaya untuk memberikan bingkisan untuk keluarga yang sedang mengadakan walimah arsy. Tidak hanya sekedar memberikan bingkisan saja, tapi juga harus tercatat rapi, karena mereka 'seakan' wajib bin harus mengembalikannya. Kamu paham maksudku??. Misal saja keluarga A sedang mengadakan walimah putrinya, kemudian keluarga B melakukan becekan berupa beras x kg, gula x kg uang sekian ribu. Nhah nanti ketika keluarga B mengadakan walimah, maka keluarga A ' wajib' mengembalikannya sebesar yang ia terima dari keluarga B. Walahhhh...Itumahh namanya minjem....menurutku. Ahh......dari dulu keluargaku memang tidak pernah setuju praktek budaya semacam ini, karena pemberian yang diberikan itu jauh dari kesan ikhlas, makanya tiap kali mengadakan walimah, tradisi di kalangan keluargaku tidak pernah mengadakan becekan.

Gara-gara tradisi seperti ini, ada tetanggaku yang akhirnya harus menanggung hutang ratusan ribu. Pasalnya saat pernikahan putrinya ia percaya bahwa becekan yang akan ia terima bisa mengembalikan modal yang dipakai untuk menyelenggarakan walimah. Karena saat itu ia sangat optimis bahwa hasil becekan yang ia perolah akan sangat banyak karena selama hidupnya ia selalu rajin melaukan becekan di walimahnya orang lain. Berharap yang ia peroleh sebanyak yang mereka berikan sebelumnya. Tapi nyatanya apa yang ia terima dari hasil becekan/balasan dari orang lain sangat jauh dari apa yang ia bayangkan. Akibatnya ia tidak bisa mengendalikan modal pernikahan putrinya, yang ternyata ia perolah dari hasil meminjam...!

Yahh itulahh...tradisi yang harus segera diubah. Semua harus dimulai dari diri sendiri, dimulai dari keluarga.....!!

Dulu ketika kakekku masih hidup, keluargaku memang dikenal tidak mau mengikuti budaya 'slametan' yang itu sedang mengakar di masyarakat. Sampai pernah kakek itu dikucilkan dari masyarakat gara-gara dianggap tidak mau bermasyarakat cuma karena tidak mau ikut slametan. Tapi kini Alhamdulillahh......tradisi semacam itu sudah mulai hilang di masyarakat.....Artinya Alm kakekku tidak sia-sia berupaya merubah tradisi TBC di kampung halamanku.

Dan tentang tradisi becekan yang menurutku tidak sehat itu juga musti diubah. Pemberian hadiah kepada saudara itu tidak memerlukan imbalan, jadi harus ikhlas....
Adapun memberikan hadiah untuk saudaranya memang sangat dianjurkan dalam islam,

Hendaknya kamu saling memberi hadiah. Sesungguhnya pemberian hadiah itu dapat melenyapkan kedengkian. (HR. Tirmidzi dan dan Ahmad)

Barangsiapa menerima kebaikan (pemberian) dari kawannya (saudaranya) tanpa diminta hendaklah diterima dan jangan dikembalikan. Sesungguhnya itu adalah rezeki yang disalurkan Allah untuknya. (HR. Al Hakim),

Budaya semacam becekan ini ini mustinya harus segera diubah, dan semuanya memang harus dimulai dari diri sendiri, dari keluarga sendiri...

"Robbanaa hablanaa min azwaajinaa wa dhurriyyatinaa qurrota a'yun, waj'alnaa lil-muttaqiena IMAAMAN" ...Amiiin Ya Robb